Jumat, 26 September 2014

Tentang Harga


Valuta. Pertukaran.

Di mana saja. Masyarakat apa saja. Komunitas apa saja. Bahkan di kalangan kelompok anak-anak muda yang tampaknya ‘serba bebas dan gratis’, bahkan juga di tengah kelompok gelandangan atau pengamen di lampu merah. Semua memiliki valutanya sendiri.

Engkau membayar untuk mendapatkan tempatmu, betul? Begitulah cara sekelompok manusia bekerja -entah kelompok kecil terdiri dari lima orang ataupun sebuah kota yang terdiri dari ribuan orang. Mungkin dengan cara membayar pajak, atau melakukan kerja sosial, atau sekedar berbagi tugas-tugas harian -apapun. Apapun. Entah itu masyarakat modern, komune anarkis, atau bahkan komune primitif. Tidak ada hidup yang gratis. Semua memiliki valutanya sendiri.

Di negeri ini, di bawah sistem seperti ini, kita dipajaki. Untuk berbicara yang lebih kecil, seperti tingkatan ketetanggaan tradisional misalnya, kita harus turut bekerja bakti, ikut andil ambil bagian dari pembagian ronda, ikut menyumbang sekedarnya untuk acara-acara kecil seperti 17 Agustus-an. Sesuai pengalamanku juga, untuk bentuk sosial yang lebih kecil lagi, yaitu tinggal bersama di bawah satu atap bersama beberapa orang lain, semua berjalan sama saja: kita memiliki valuta.

Kita selalu memiliki valuta. Bentuknya saja yang berbeda-beda. Dalam skala sebesar dunia dan negara, kita menggunakan bentuk uang. Dalam skala kecil dalam satu rumah, valutanya adalah kerjasama. Engkau tidak bekerjasama, artinya hanya tinggal tunggu waktu saja sampai semua orang menjauhimu dan dalam titik ekstrimnya, memintamu pergi.

Semua orang. Setiap orang. Memainkan perannya. Ada pertukaran yang selalu terjadi.

Ide-ide dunia gratis, sebagaimana yang digembar-gemborkan para anarkis seperti CrimethInc. sesungguhnya hanyalah sebuah diskursus puitis, bukanlah sesuatu yang seharusnya ditelan secara harfiah. Persis seperti apa yang terjadi dengan slogan “Never Work” yang dikumandangkan gerombolan Situationist International. Guy Debord menerima ‘sumbangan’ tetap dari Asger Jorn, sementara Michelle Bernstein menjadi pengisi kolom horoskop di sebuah media lokal. Bahkan John Zerzan menjual darahnya untuk bisa terus menyambung hidup atau membeli makan. Karl Marx mendapat ‘sumbangan’ tetap dari Engels. Brian Dingleding menjual CD dan merchandise untuk bisa terus menerima pasokan dana. Untuk menyiasati semua hal tersebut dan agar dapat menyeimbangkan pemasukan dan pengeluaran, mereka semua rata-rata tidak menikah dan memiliki anak serta hidup berpindah-pindah. Seperti Arthur Rimbaud. Seperti Isabelle Eberhardt.

Bahkan Henry Miller-pun membayar. Ia menulis buku, menerima royalti darinya, menjual lukisan cat airnya. Kini anak-anak cucunya terus menerima royalti dari seluruh penjualan buku-bukunya bahkan setelah ia wafat. Bahkan kepala mafia-pun harus mampu mempertahankan kekuasaannya agar mampu mendapatkan sesuatu atau ia akan disingkirkan. Artinya, bahkan seorang Don Corleone-pun membayar. Mereka yang menolak total terlibat dalam pertukaran menggunakan uang, memilih hidup berjarak, sejauh mungkin, dari peradaban dan masyarakat besar. Seperti Ted Kaczynski yang memilih hidup seorang diri, berburu kelinci dan membangun pondok dari kayu di tengah hutan. Ada harga yang ia ambil. Ia bayar.

Beberapa dari kita bekerja. Beberapa dari kita menjadi ketua geng. Beberapa dari kita menjual kaos dan rekaman. Beberapa menjual citra kemiskinan atau citra radikal. Tak ada benar dan tak ada salah dalam soal ini. Kita semua hanya membayar sesuatu karena tak ada hidup yang gratis. Kita semua menukarkan sesuatu. Semua memiliki peran dan memainkan perannya. Ketua geng mempertahankan kekuasaannya dan menerima upeti dari orang-orang yang hidup dalam areanya, seorang radikal menjual citra kemiskinan dan pemberontakan agar mendapat pasokan uang yang stabil. Di luar itu semua, selain anak-anak kecil yang beruntung sehingga bebas dari valuta, tak lebih dari anak-anak manja yang merengek, menangis dan lebih cocok kembali ke pelukan hangat, gratis, dari ibunya.

Dunia ini, bagaimana alam ini berjalan, telah beroperasi jauh lebih lama dariku. Sejauh yang kuketahui hal ini sudah berjalan sejak awal. Saat Adam dan Hawa menolak membayar berupa kepatuhan terhadap Tuhan, mereka disingkirkan dari surga. Semua memiliki valuta. Tak ada yang membicarakan hal ini. Tak ada yang mengajukan protes selain sekelompok anak-anak manja. Setiap orang mengambil perannya. Tak ada hidup yang gratis.

Aku menjual kemampuanku, waktuku, energiku untuk dipertukarkan dengan sejumlah uang yang cukup besar. Bukan. Bukan karena kini aku mengamini dan membenarkan kapitalisme. Bukan karena aku terbius oleh kapitalisme -walaupun kuakui ia memang membius. Bukan. Kapitalisme hingga kini masih menyebalkan sebagaimana sejak awal kelahirannya. Jadi jelas bukan itu. Ada alasan lain. Pertama, orangtuaku tidak memberikanku warisan milyaran rupiah yang memungkinkanku untuk hidup tanpa bekerja. Kedua, karena aku menolak menjual citra radikal atau penderitaan orang lain pada lembaga donor atau pada anarkis-anarkis di Negara Dunia Pertama. Ketiga, karena memang hidup di kawasan urban dan memiliki cukup uang jauh lebih menyenangkan dibandingkan miskin finansial.

Apakah aku harus merasa bersalah atas peran yang kuambil? Haruskah aku malu atas status sosialku? Haruskah aku melakukan lelucon yang telah kehilangan gregetnya, yaitu ‘bunuh diri kelas’? Perlukah aku menjaga citra radikal yang sempat orang-orang sematkan padaku? Jawabanku hanya satu: aku tidak peduli. Hidup ini singkat dan pendek. Terlalu pendek untuk kujalani berdasar penyesalan dan rasa bersalah.

Tak ada hidup yang gratis. Bahkan revolusipun memiliki valutanya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar