Senin, 21 April 2014

Dunia Spektakuler: Ironi Politik dan Anti-Politik

Two anarchists are hiding behind a dumpster, manufacturing molotov cocktails. One anarchist turns to the other and says: “What exactly are we going to target with these mollies?” The second anarchist retorts: “What are you, some kind of intellectual?”
—G.A. Mathias, “Right-of-Center Sellouts”
Rasanya tak perlu ditegaskan lagi, politik itu menyebalkan.
Aku tahu, definisi politik saat ini jauh lebih kompleks dari sekedar definisi politik gaya Athena yang berasal dari kata polis. Tapi aku tidak ingin menyalahkan kemenjadian politik seperti politik yang dikenal saat ini yang melulu berorientasikan kekuasaan dan bermotifkan ekonomi dengan amat kental. Karena kalau toh politik jadi seperti sekarang ini, bukankah memang ini perkembangannya?
Aku tidak tahu seperti apa politik dalam definisi Athena karena sepengetahuanku mereka yang sibuk berpolitik di Athena juga adalah para tuan-tuan tanah dan pemilik budak, yang karenanya untuk memahaminya harus dibahas dari konteks pada jamannya. Lebih jauhnya lagi, karena konteksnya amat berbeda dengan masa kini, maka lupakan juga definisi politik di era Athena.
Maka singkatnya, politik yang kukenal adalah bentuk politik seperti saat ini. Dan sekali lagi kukatakan, politik itu menyebalkan.
Lantas apa? Apakah sebaiknya aku memilih sikap untuk merengkuh kubu anti-politik?
Ironisnya, mereka yang saat muda mengaku anti-politik pada gilirannya juga menjadi politikus baru—tentu saja dengan mengambil esensi politik yang sama, alias tidak ada bedanya. Mahasiswa-mahasiswa yang lantang bersuara era 60-an, elit-elit Partai Rakyat Demokratik (PRD)—yang selalu mengandalkan lelucon “Kami melakukan ini, mengorbankan diri, demi mendekatkan rakyat pada revolusi” yang makin usang—dan tak terkecuali sebagian dari mereka yang mengaku anti-otoritarian dalam bentuknya sendiri, menolak partai politik tapi melakukan hal yang sama persis dengan yang dilakukan partai, minus urusan legalitas saja.
Kalau engkau mengadopsi gaya pengorganisiran partai politik, sekalipun tanpa mengusung nama partai politik, bukankah artinya engkau tak berbeda dengan partai politik?
Kini mari melihat pada mereka yang mana pengikutnya banyak menyatakan diri anti-politik. Para primitivis anti-teknologi dan insureksioner—yang sengaja kupisahkan dari kubu anarkis karena mereka juga menyatakan bahwa anarkis terlalu terkungkung dalam ideoogi anarkisme. Primitivis di sini dalam artian para pengikut John Zerzan, deep-ecology Arnae Naess dan beberapa kecenderungan anti-peradaban lainnya. Di dalamnya yang paling umum adalah adanya sentimen misantropi dan nihilisme; tak ada masalah, hanya saja, selalu mereka tak bisa menjawab saat dibawa ke dalam konteks pemusnahan manusia secara massal.
Merunut pada penelitian ilmiah—tentu saja aku menggunakan data ilmiah semenjak para aktivis primitivis dan anti-peradaban juga menggunakan data ilmiah untuk membenarkan argumennya—utopia para aktivis ini di mana corak produksi masyarakatnya pemburu-peramu, yang dibutuhkan agar corak produksi ini bisa berkesinambungan, maka populasi manusia sedunia ini maksimal hanya sekitar 100 juta orang saja. Sementara masa kini setidaknya ada 7 milyar manusia yang hidup di atas planet ini. Maka untuk merealisasikan utopianya, para aktivis ini membutuhkan ‘lenyapnya’ manusia sebanyak 6.900.000.000 orang—atau sekitar 99% populasi manusia di atas bumi. Bagaimana caranya agar hal tersebut bisa terjadi? Para aktivis biasanya marah apabila ditanya soal hal ini, tentu saja, karena mereka tidak bisa menjawabnya padahal itu adalah konsekwensi logis dari konsep yang mereka usung dan gembar-gemborkan. Justru yang paling jujur adalah beberapa individu seperti eco-fasis seperti Pentti Linkola, yang secara terbuka menyarankan pembasmian massal. Dengan demikian, bukankah pada ujungnya bahkan mereka, para aktivis yang mengaku anti-politikpun, berdiri di pijakan yang sama dengan para fasis yang jelas-jelas politis?
Terakhir, walau bukan yang paling akhir, adalah sejumput para insureksionis, yang merupakan campuran kasar antara komunis anti-negara dan anarkis insureksioner yang mengambil inspirasi teoritis dari The Coming Insurrection dari Invisible Committee dan praksis dari kerusuhan di Yunani beberapa tahun ke belakang. Mereka menyatakan diri tidak memiliki agenda politik apapun, bisa dilihat dari slogan-slogan mereka seperti: “Occupy Everything, Demand Nothing” misalnya.

Saat feminis Marxis-otonomis radikal, Silvia Federici, ditanya mengenai peran feminis dalam aksi insureksioner, ia berkomentar, “The problem, I believe, is when these actions become an end in themselves, carried out, as ‘We are the Crisis’ states, ‘for no reason’. For in this case, in the absence of any articulated objective, what comes to the foreground tends to be the glorification of risk-taking.” Jadi apa beda mereka dengan para pecandu perang yang dikirim oleh para politisi Serbia untuk menghabisi kaum muslim Bosnia beberapa waktu lalu, atau para preman bayaran yang dikirim ke pedesaan-pedesaan untuk mengusir para petani agar tanahnya dapat dirampas korporasi? Tak ada, keduanya sama-sama melakukan sesuatu hanya karena mereka suka atas apa yang mereka lakukan, tak ada alasan lain. Bedanya hanya karena para preman tersebut mendapat upah yang cukup baik.
Mereka yang menyatakan anti-politik pada akhirnya cenderung berdiri di pijakan yang sama, berdampingan dengan para fasis.
Pada akhirnya juga, dalam Pemilu lalu, para pemilih yang dengan bangga memilih, mereka yang golput dan menggembar-gemborkan bahwa golput itu adalah hak, termasuk mereka yang menyatakan anti-politik tapi berkelakuan sama dengan mereka yang politis, semua adalah manusia-manusia politis. Pada taraf tertentu, seperti politik, mereka juga menyebalkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar