Senin, 12 Mei 2014

Anarkis


#1.0

Dalam kasus oasis complex, orang yang haus membayangkan bahwa ia melihat air, pohon palem, dan tempat berteduh bukan karena ia punya bukti kepercayaan itu, tetapi karena ia membutuhkannya. Kebutuhan yang amat sangat menimbulkan halusinasi sebagai jawaban: rasa haus menimbulkan bayangan air, kebutuhan akan kebenaran anarkisme menimbulkan bayangan telah terjadinya pemberontakan ideal di daerah-daerah di mana terjadi konflik antara masyarakat melawan otoritas. Tetapi oasis complex tidak pernah berupa delusi sepenuhnya; seseorang di padang pasir itu memang melihat sesuatu di horizon. Hanya saja airnya kering, palemnya layu nyaris mati dan tempat tersebut hanya dipenuhi belalang. Seringkali, saat seseorang tersebut mendapati bahwa kenyataan ternyata berbeda dengan apa yang ia bayangkan, ia marah, menyalahkan apapun. Apapun. Siapapun. Tapi tidak dirinya sendiri.

* * *
#2.0


Anarkis menolak pemimpin. Entah itu kepemimpinan dalam skala besar ataupun skala kecil. Ia menolak struktur hirarki. Memilih membiarkan orang-orang memutuskan sendiri apa yang terbaik untuk hidupnya sendiri, termasuk memilih demikian apabila sudah jelas bahwa keputusan orang-orang akan berujung pada petaka. CNT di Spanyol dikritik karena memilih berkolaborasi ke dalam jajaran pemerintahan walaupun hal tersebut demi menyelamatkan hidup yang tersisa. Sabate dielu-elukan sebagai anarkis terakhir yang berdiri melawan Franco. Tapi para pengritiknya lupa, atau pura-pura tak tahu, bahwa Sabate hidup tanpa menanggung tanggungjawab terhadap siapapun selain dirinya sendiri. Sementara para buruh-buruh di bawah CNT? Apakah semuanya adalah orang-orang dengan status single?

Sebentar, jangan pikir bahwa aku menyepelekan Sabate. Tidak sama sekali. Ia tetap harus dikenang sebagai orang-orang terakhir dari jajaran revolusioner Spanyol yang masih berdiri tegak di hadapan pasukan fasis Franco. Hanya, aku juga kini makin memahami mengapa CNT memilih jalan kompromi. Hal seperti ini jelas juga dipahami oleh Guy Debord beserta gerombolan Situationist International-nya di Paris. Bukankah itu alasan mengapa mereka merongrong Levebre agar membatalkan rencananya untuk menikah dan bahkan diam-diam berusaha membuat relasi cinta sang profesor kandas dengan satu dan lain cara?

Aku hanya ingin bertanya, di dunia di mana orang-orang telah dilatih—terlatih—untuk hanya tunduk dan mengikuti perintah, dan berakibat pada sedemikian masifnya ketertundukan, di mana orang-orang tak pernah tahu apa yang harus dilakukan melainkan hanya apa yang ingin mereka lakukan, di mana kala terjadi kekacauan sosial yang dijarah pertama oleh orang banyak adalah televisi layar lebar dan bukannya bahan pangan, di mana orang-orang kebingungan apabila tak ada aturan dan kewajiban, apakah kita juga masih berkoar menolak kepemimpinan? Termasuk apabila kepemimpinan tersebut memang berada di tangan yang kita tahu memang mampu?

Semua orang mampu memimpin dirinya sendiri, menurut teori anarkisme. Sungguh? Kupikir tidak semua orang memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin. Tahu apa yang harus dilakukan untuk bisa memimpin diri sendiri di dunia seperti yang kupaparkan di atas? Baiklah, berikut ini adalah daftarnya: kemampuan meletakkan prioritas, kemampuan untuk membuat keputusan, kemampuan untuk memilih, mengambil dan meninggalkan atau membuang dengan mengesampingkan emosi serta beban moralitas, kemudian mengambil tanggungjawab atas konsekwensi yang hadir atas keputusannya. Apakah itu bisa dilakukan oleh semua orang?

Aku tidak yakin.

* * *

#3.0


Belum lama berselang, seorang kawan lama yang kini tinggal dan turut serta dalam perlombaan kejam demi memiliki sedikit kesempatan hidup di Jakarta, berbincang denganku. Seorang kawan lama, seorang (mantan?) anarkis—apabila memang bisa dibilang demikian karena label tersebut makin lama makin terasa seperti lelucon. (Anarkis, saat ini kita semua bisa menggunakan labelnya demi berlomba tampil memukau di hadapan deretan juri. Kalau acara American Idol jurinya adalah Mariah Carey dan Nicki Minaj, maka juri acara Anarchist Idol komposisinya adalah para insureksioner Eropa Barat dan Amerika Latin. Atau mungkin kalau label anarkis sudah terlalu dianggap kitsch, sekarang telah tersedia label lain yang lebih hip: nihilis.) Kawan lamaku ini berbincang, yang mungkin lebih memperbincangkan dirinya sendiri, bagaimana hidupnya saat ini berjalan.

Semakin lama, menurutnya, ia makin merasa bahwa isu-isu anarkistik, perjuangan melawan dominasi dan kontrol, semakin terasa tak relevan baginya. Bukan berkata bahwa perjuangan itu tak lagi penting, hanya tak relevan. Sekaligus, ia tak yakin juga apa yang kini relevan dengan dirinya. Saat ia merasa kekurangan sentuhan melankolis dari romansa cinta, ia selalu berhasil mendapatkanya. Sesuatu yang ia akui sendiri, semakin hari semakin terasa tak pernah lagi hadir nuansa cinta yang menggebu-gebu. Saat ia menilik soal ekonomi, ia akui bahwa ia memang tidak kaya raya berlimpah harta, tetapi ia juga toh tak pernah merasa benar-benar miskin. Tak pernah kekurangan juga dalam urusan seksual. Hidup kini menjadi sesuatu yang terasa datar dan ala kadarnya.

Di akhir perbincangan singkat tersebut, ia berkata, bahwa mungkin hidupnya kini bisa dibilang menyedihkan. Kupikir, tentu saja, terutama apabila dilihat dari kacamata kehidupan ia sebelumnya, sebagai anarkis. Hidup datar dan hambar adalah sesuatu yang menyedihkan. Mungkin bagi orang lain, kawan-kawan lamanya, hidupnya kini menyedihkan. Mungkin. Tetapi apabila ditilik lebih jauh, bukankah pandangan menyedihkan itu hanya hadir dari orang ketiga? Yang tentunya juga tak relevan dengan kehidupannya? Kawanku tersebut mengakui, ia tak peduli. Ia tak merasa sedih.

Aku tidak tahu. Mana sesungguhnya yang lebih menyedihkan. Apakah mereka yang berlomba mendapatkan hak untuk menyematkan label anarkis/nihilis/insureksioner di dada mereka di hadapan dewan juri internasional ataukah kawanku yang berkata jujur mengenai dirinya sendiri?

* * *

#4.0

We fascists are the only true anarchists.
—The Duke, dalam Salo (1975), Pier Paolo Pasolini


Di satu siang aku menyempatkan diri untuk memenuhi permintaan seorang kawan lamaku untuk memberi pengantar singkat di sebuah kelompok anak-anak muda—entah kelompok diskusi atau apapun, entahlah—mengenai pemikiran dasar Guy Debord dan tentu grup Situationist International-nya.

Terus terang sudah lama aku tidak berjumpa dengan anak-anak muda seperti mereka setelah terakhir kali di Makassar. Tapi bedanya, apabila di Makassar adalah anak-anak yang penuh semangat dan optimis, anak-anak muda ini pesimis. Amat pesimis. Tidak semuanya memang, tetapi dari jumlah anggota kelompok kecil tersebut yang kurang dari jumlah jari di kedua tangan, hanya satu orang yang masih menyimpan optimisme bahwa struktur politik negara akan dapat mengubah hidup warganya menjadi lebih baik. Satu orang saja. Bayangkan, satu orang.

Karenanya, terus terang, aku menyukai mereka.

Sejak kapan politik bisa mengubah hidup seseorang menjadi lebih baik? Apa yang diajarkan sejarah selalu saja tentang kisah bahwa yang bisa mengubah hidup seseorang—entah itu individu ataupun masyarakat—hanyalah seseorang itu sendiri. Terdengar anarkistik? Tidak juga secara eksklusif, aku lupa di mana, tapi sepertinya aku pernah mendengar ide serupa yang berkata bahwa Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga kaum tersebut berusaha mengubah nasibnya sendiri. Politik kenegaraan memang hanya satu jalan yang bisa ditempuh dari sekian banyak jalan—dan merupakan salah satu jalan yang dimataku terasa konyol dan buang-buang waktu.

Beberapa dari anak-anak muda tersebut memang mengaku diri mereka terinspirasi ide-ide anarkis.

Sebentar. Anarkis?

Seperti biasa, aku sering gatal apabila mendengar istilah tersebut diucapkan. Pertama, seperti biasa, karena istilah itu digunakan secara salah kaprah oleh media massa dan karenanya juga diamini oleh banyak orang; kedua, karena sepanjang pengetahuanku, mayoritas dari mereka yang mengaku dirinya anarkis tak lebih dari para aktivis sosial-media atau para pemabuk yang mempunyai grup musik punk rock; ketiga, karena—lagi—sepanjang pengetahuanku, dan ini yang paling penting, mereka yang mengaku terinspirasi ide-ide anarkis sebenarnya hanya domba-domba domestik yang mana alam bawah sadar mereka memohon-mohon agar dirinya digembalakan tetapi terlalu gengsi untuk mengakui hal tersebut. Mengapa kukatakan terlalu gengsi? Karena mereka memegang jargon favorit para anarkis: no gods no masters. Dan seperti biasa, jargon adalah sekedar jargon, alat propaganda yang seringkali tidak merefleksikan hidup harian para pencetus di belakangnya. Bisa kukatakan mereka domba domestik berbaju serigala liar.

Berdasar hal-hal tersebut, aku bertanya pada salah satu dari anak-anak muda tersebut, yang paling aktif berbicara, apa sesungguhnya yang ia inginkan.

Aku ingin menjadi seorang peternak biri-biri di New Zealand. Ujarnya mantap.

Seorang kawannya berkomentar, bahwa dengan begitu artinya ia tidak peduli dengan nasib rakyat banyak.

Ia menggeleng. Rakyat banyak apa, tanyanya nyinyir. Seorang egois tulen di tengah kelompok—yang mengaku—sosialis.

Kawannya tertawa-tawa. Aku tertawa-tawa. Aku suka anak tersebut.

Anarkis.

Engkau tahu apa yang selalu kusuka dari orang-orang seperti anak muda tersebut? Orang-orang seperti itu tidak peduli dengan soalan ideologi dan mereka jujur terhadap diri mereka sendiri. Menyebut orang-orang seperti itu Stalinis mungkin tak akan membuat mereka tersinggung. Bajingan yang kadang terasa puritan atau bahkan fasistik terutama saat mempertahankan apa yang mereka anggap benar, tak tersinggung walau disebut selfish. Orang-orang yang memiliki keberanian, setidaknya dalam beberapa konteks berani menyatakan sikap dan pandangannya walaupun hal tersebut akan bertentangan dengan sikap, pandangan dan moralitas orang-orang di sekelilingnya. Orang-orang yang dalam perang tak akan memberikan sejengkalpun posisinya, tak mau meninggalkan sandera, dan bertempur hingga darah penghabisan. Dan terutama, orang-orang seperti itu tidak takut sendirian.

Aku iba pada mereka yang mengaku anarkis tapi tak mampu melanjutkan hidup kala mereka menemui bahwa mengejar hingga akhir apa yang diyakini akan selalu berakhir dengan berjalan seorang diri. Dasar domba domestik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar