Senin, 21 Juli 2014

Tentang Apa Yang Banal dan Sepele


"Ketika teman-teman lama berangsur menjadi suara yang nyaring, dan ingatanku akan mereka kian mengabur dan layu, maka aku akan mengalihkan pendengaranku ke bebunyian yang jauh lebih dekat, bunyi dengan desibel terendah, yang hampir tak terdengar oleh sesiapa."
Cumbu Sigil, “Nyanyian Kasius” (2002)

* * *
Tidak ada hal yang lebih menjengkelkan bagiku belakangan ini, daripada terlibat dalam adu mulut yang tak jelas juntrungannya. Semua diperburuk dengan odor tengik alkohol dan ruang publik sebagai latar suasana. Atmosfir barbar yang menyelimuti ruangan ini tak lagi dapat disembunyikan. Ini jelas bukan tempat ideal untuk menggelar konferensi Plato yang teratur dan termediasi seperti apa yang banyak dihadiri oleh profesor dan akademisi (lebih seperti jamuan makan malam Genghis Khan), ini adalah tempat dimana satu dari puluhan orang yang bertengger di ujung-ujung meja tertawa terpingkal-pingkal dan lalu berseteru bak pelawak tragis nan konyol, berpotensi untuk berakhir terkulai di atas lantai hanya karena soalan sepele. Garis yang memisahkan antara peradaban dan kegilaan sudah terlampau tipis disini. Entah apa yang membuatku tergiur untuk menuruti ajakan kawanku untuk mengunjungi tempat ini, aku yang justru lebih terbiasa dengan keheningan dan kesunyian. Penyesalan memang selalu datang belakangan.

“Engkau memang seorang fanatik,” ujarnya dengan mimik yang mulai serius. Raut wajahnya menggambarkan sikap prejudis, namun tak sepenuhnya. “Maka engkau salah menilai diriku,” jawabku “Aku sama sekali bukan seorang fanatik.” Ia meremas jari tangannya membentuk bogem kepalan yang ia tumpukan diatas meja. Bukan pertanda amarah. Mungkin hipotermia ringan, mengingat kami duduk tepat dibawah hembusan penyejuk ruangan dengan suhu kisaran delapan sampai sembilan-belas derajat, yang tentu bagi manusia dengan kulit tropis seperti kami, adalah sebuah ketidaknyamanan. “Tidak masalah bagiku apakah engkau itu seorang fanatik atau bukan sebenarnya, yang jelas, dimataku, engkau seorang fanatik,” imbuhnya kali ini dengan nada yang sedikit lebih agresif. “Maka aku bisa berkata sama. Tidak masalah apa yang kau pikirkan soal diriku, yang jelas aku bukan seorang fanatik” tekanku membalas ucapannya tersebut. “Bukankah aku pernah mengungkapkan kepadamu, bahwa justru fanatisme adalah hal yang selalu kubenci? Aku bahkan sejauh menghimbaumu untuk menanggalkan segala bentuk fanatisme,” lanjutku berusaha untuk mengingatkannya. “Mungkin, ingatanku mengelabuiku, toh aku tak begitu peduli dengan himbauanmu itu,” jawabnya. Ia disini lebih terlihat seperti ingin mencari keributan ketimbang sekedar beradu mulut.

Aku merebahkan pundak kananku ke permukaan dinding yang terasa dingin. Menghembuskan nafas, menenggak bir yang mengalir deras di dalam tenggorokan. Gelas yang kugenggam perlahan mulai membuat telapak tangan dan jemariku mengeriput. Aku memandang wajahnya yang masih dihiasi dengan raut dan gestur konfrontatif seperti biasa. Jika ada satu hal yang kutahu mengenai diriku sendiri, adalah aku bukan tipe orang yang mudah tersulut emosi. Tidak tanpa alasan dan kondisi yang tepat. Aku sedikit bersyukur bahwa ini tidak terjadi di hari yang terik dan panas. Jika sebaliknya, maka bukan tidak mungkin bahwa gelas ini akan berakhir di wajahnya, hanya karena ia telah membawaku kedalam obrolan sia-sia yang telah berlangsung cukup lama, terlalu lama, saat aku hanya ingin bersenang-senang.

“Katakan kepadaku,” ia terhenti sejenak “sejak terakhir kita bertemu, engkau masih saja bersikeras dengan politik multiplisitas kekirian-mu itu, saat kupikir apa yang kita butuhkan sekarang adalah justru solidaritas, persatuan, bukan malah perpecahan dan omong kosongmu itu, bagaimana lagi aku harus mendefiniskan dirimu jika bukan seorang fanatik?” tanyanya panjang lebar. Entah jawaban apa yang sebenarnya ia harapkan dari pertanyaan yang baru saja ia lontarkan tersebut. Sejauh apa yang kusadari, pertanyaan tersebut bersifat retorik. Ia hanya menekankan apa yang sebelumnya telah berkali-kali ia tekankan kepadaku. Sejujurnya, aku tidak tahu lagi siapa sebenarnya yang pantas disebut fanatik, diriku atau dirinya. Itu tidak lagi penting. “Lagi-lagi engkau salah menilaiku. Hanya karena aku mempunyai metodeku sendiri, itu semua tidak lalu membuatku menjadi seorang fanatik.” Alisnya terlihat mengkerut, membentuk alfabet “V”, kedua pundaknya pun membenam di balik sweater yang ia pakai. “Bukankah sejarah telah mengajarkan kita bahwa seringnya, kebuntuan sejarah justru dihasilkan dari gerakan yang terpusat, dengan partai atau Negara yang berlaku sebagai representatif tunggal? Tidakkah kau pikir bahwa itu sudah semestinya harus berubah?” jelasku. “Engkau berkali-kali mengingatkan kepadaku soal Santayana: mereka yang tidak mengenal dan mengakui sejarah, dikutuk untuk terus mengulangnya. Dan kini hal ini terjadi padamu.” lanjutku tanpa jeda sedikitpun. Ia tersenyum nyinyir, seolah perkataanku tersebut tidak bermakna apapun baginya. Ia malah membalasku dengan jawaban yang berintonasi sarkastik, kata positif dobel yang justru bermakna negatif: “Ya, ya.”

* * *

Seorang dosen seni dan teori dulu pernah memberikanku sebuah tips bermanfaat: bacalah buku seperti engkau mendengarkan sebuah lagu, hanya mengingat melodi dan liriknya jauh setelah engkau membaca atau mendengarnya. Itu yang seringnya terjadi pada diriku. Seperti ketika aku mendengar ucapan sarkastik kawanku ini, yang seketika mengingatkanku akan sebuah anekdot dari filsuf underdog asal Amerika, Morgenbesser; seperti mengasosiasikan sebuah melodi dalam sebuah lagu, dengan melodi dari lagu lain yang pernah kudengar.

Aku pertama kali mendengar nama Morgenbesser dari buku karya Vila-Matas yang berisi anekdot dari filsuf, seniman dan penulis-penulis yang mengidap semacam sindrom Bartleby, baik yang fiktif maupun yang tidak. Memang sulit membedakan mana yang fiktif dan mana yang tidak, mengingat Vila-Matas sendiri adalah seorang fabulis kontemporer yang cukup termahsyur (sejajar dengan Bolaño, tentu saja). Bahkan karena Vila-Matas lah aku kini selalu mengambil perhatian ekstra pada catatan kaki dan anekdot dalam tiap buku yang kubaca. Kisah ini sejauh yang kutahu, tidak hanya tercantum dalam novel Vila-Matas semata, tapi faktanya, kisah ini cukup terkenal dikalangan akademisi, terlebih lagi di kalangan akademisi Universitas Columbia Amerika Serikat.

Alkisah, seorang linguistik terkemuka J. L. Austin mengadakan kuliah singkat di Universitas Columbia. Kuliah tersebut dipenuhi dengan berbagai kalangan akademisi, mulai dari mahasiswa, sampai dosen-dosen universitas, termasuk Morgenbesser sendiri. Dalam kuliahnya, Austin mengemukakan bahwa meski seseorang dapat mengambil makna positif dari penggunaan kata negatif dobel dalam sebuah bahasa, adalah tidak mungkin bagi seseorang untuk dapat mengambil makna negatif via positif dobel. Sebelum Austin sempat melanjutkan perkataannya, sebuah celetukan sarkastik muncul menggema diantara kerumunan orang yang datang menghadiri ruang auditorium kuliah, yaitu Morgenbesser: “Yeah, yeah.

Aku sontak tersenyum dan terkekeh ketika pertama kali membaca anekdot tersebut.

Morgenbesser memang dikenal dengan selera humornya dan kemampuannya untuk menyentil isu-isu kritis dengan caranya sendiri. Ia bukanlah seorang filsuf prolifik yang menulis banyak esai dan buku seperti banyak filsuf-filsuf lain, ia bahkan cenderung pasif dalam menulis. Ia lebih memilih untuk memojokkan dan berargumentasi langsung dengan koleganya, apa yang selalu ia sebut sebagai metode “kibitzing“: intervensi intelektual tanpa henti. Artinya, ia percaya bahwa itu adalah satu-satunya cara baginya untuk mempraktikkan falsafah nya, dalam situasi-situasi banal dan arena-arena kecil kehidupan, bukan dalam jurnal-jurnal akademis. Itu tak ayal membuat sosok dirinya menjadi semacam badut, guyonan dalam kalangan akademisi yang cenderung elitis, sekaligus menjadi sosok filsuf militan—’filsuf jalanan’ layaknya Socrates—yang paling dihormati.

Aku teringat bahwa kawanku ini pernah berkata padaku bahwa ia adalah penikmat Kierkegaard. Ia pernah mengakui dirinya sebagai seorang eksistensialis, dan aku cukup yakin ia hanya berpura-pura. Berkali-kali ia berusaha mengkontestasi (meski tanpa hasil) gagasan anti-humanis, dan tentunya berkali-kali pula gagasan itu kubela. Aku memang tidak banyak membaca Kierkegaard. Sekali-kalinya aku membaca Kierkegaard adalah ketika aku masih menggandrungi eksistensialisme beberapa tahun yang lalu, sebelum akhirnya Althusser menemukanku dan merubah segalanya. Dan itu sudah terbilang lama. Tapi ada satu petikan kata dari Kierkegaard yang kucatat (aku mempunyai kebiasaan mencatat kutipan yang kuanggap penting dalam sticky laptop, kebiasaan yang nyatanya berguna), yang mungkin mempunyai kaitan dengan perilaku Morgenbesser. Kierkegaard berkata: apa yang benar-benar salah dari ketidakterbatasan (infinitude) adalah kurangnya keterbatasan (finitude). Sebuah epigraf dalam “Hyperion” novel karya dari seorang penyair romantisis radikal abad ke-18, Holderlin, kata yang juga ia ambil langsung dari epitaf batu nisan Santo Ignasius, juga mengungkapkan hal yang serupa, bahwa: ia yang tidak terpenjara dalam kemegahan, tapi justru dalam kesempitan, adalah ia yang paling diberkati.

Kedua contoh petikan tersebut secara tidak langsung menggambarkan kualitas yang dimiliki oleh Morgenbesser dan aforisme ‘filsafat jalanan’ nya, bagaimana ia dapat membentuk persepsi luas justru melalui arena sempit, hal-hal yang kecil, banal dan sepele dalam kehidupan keseharian: ketidakterbatasan dalam keterbatasan; kemegahan dalam kesempitan.

Mungkin kualitas ini juga yang dimiliki oleh pelukis maestro seperti Vermeer, yang mampu memberikan nyawa dan ekspresi lugas tanpa pretensi pada momen-momen dan gestur sementara yang ia tangkap sedemikian rupa, hingga ke detil-detil terkecil ke dalam lukisannya: membuat signifikan apa yang sebelumnya dianggap insignifikan. Atau Hammershoi, seniman asal Denmark yang awalnya terlihat prodigius, sampai pada peralihannya menjadi ‘pelukis interior’ yang medioker di sisa-sisa hidupnya. Aku sendiri percaya bahwa disini Hammershoi bukan hanya sekedar membuang-buang bakatnya, menjadi pelukis medioker seperti apa yang banyak kritikus seni kira, tetapi bisa jadi ia justru membawa bakatnya ke tingkatan selanjutnya, dimana ia merasa perlu dan mampu untuk memberikan perhatian ekstra pada hal-hal dalam ruang lingkup terkecil, pada obyek-obyek insignifikan dan lalu memberikannya secuil kehidupan, menjadikannya signifikan.

Hegel sendiri dalam esainya “Lectures on Fine Art” mengungkapkan secara panjang lebar bahwa kualitas fundamental dalam melukis adalah rasa cinta. Terlebih dalam karya-karya lukisan maestro era renaisans abad ke-17 seperti Vermeer yang telah kuungkapkan tadi (yang lukisannya justru tidak termasuk dalam klasifikasi renaisans). Cinta yang Hegel maksud disini adalah bentuk cinta yang paling fundamental, yaitu: kesediaan untuk mengamati, meresapi subyek yang dicintai sebagai bagian dari semacam pencapaian transendental bagi ia yang mengamati (aku pernah membahas soal tatapan ini di tulisanku sebelumnya). Siapa yang tidak tersentuh dengan ekspresi seorang gadis dalam “Girl With Pearl Earring” karya Vermeer? Atau detil-detil dalam “A Maid Asleep” dan karya favoritku “The Geographer” ? Kierkegaard menyebut proses ini sebagai pembatasan melalui imajinasi: seseorang dapat bersentuhan dengan keabadian bukan melalui gambaran dari apa yang agung dan mahamulia semata, sebaliknya, ia didapat dari hal-hal dan skena-skena banal disekitar kita yang dihidupkan oleh tatapan penuh rasa cinta dari sang pelukis (dan kita selaku spektator).

* * *

Aku harus mengakui bahwa ada kualitas tersendiri dalam diri kawanku ini yang perlahan mulai kusadari, seberapapun aku terkadang membenci tabiatnya ini. Ia memang bukan seorang Morgenbesser. Ia tidak mempunyai selera humor, dan kecerdasannya tentu bisa kukatakan berbanding jauh dengannya (tindakan bodoh bahkan untuk berusaha membandingkan dirinya dengan Morgenbesser). Ia juga bukan seorang pelukis maestro seperti Vermeer atau Hammershoi yang mampu menyalurkan segala kecintaannya pada subyek yang ia geluti secara detil dan penuh presisi. Karena jika ada satu hal yang dapat mendeskripsikan dirinya secara keseluruhan, adalah inkonsistensi. Tapi yang patut disadari disini, adalah bahwa ia memiliki pola dan urgensi yang sama. Keinginan dirinya untuk terus membicarakan bagaimana hidup berpolitik (bukan politik per se), berdebat dari satu topik ke lainnya, tak peduli dimana tempatnya, dalam suasana yang kondusif atau tidak, adalah merupakan cara baginya untuk tetap bersentuhan dengan apa yang banal. Karena jelas baginya, setiap pelangi pasti berakhir, sedangkan langit akan terus ada. Baginya, perdebatan seperti ini tidak pantas dilakukan di ruang diskusi yang tertutup, atau kanal-kanal forum media online—seperti banyak dari imbisil-imbisil narsisistik yang gemar berbicara seenaknya dan lalu berlindung di balik kompleksitas dunia internet dengan kedok anonimitas untuk menutupi kedunguannya—sebaliknya, perdebatan semacam ini justru pantas dilakukan di tempat yang bersentuhan langsung dengan hiruk pikuk kehidupan, mata bertatap dengan mata; filsafat dengan hidup; teori dengan politik, saling bersenggama. Lenin tentu akan membenci orang-orang seperti dirinya, yang hanya banyak berbicara, tapi untung baginya aku bukan seorang Lenin.

“Berpolitik itu artinya membiarkan politik tetap ada, membiarkan Negara tetap ada, bukan justru menghancurkannya, membuatnya tercerai berai” wajahnya mulai terlihat memerah, entah apa karena efek lampu yang jatuh tersorot tepat di sisi kiri wajahnya atau murni karena asupan alkohol. “Engkau sungguh percaya akan pemikiranmu itu? Sebegitunya engkau bersikeras untuk mengulang kesalahan yang sama, dengan interpretasi kuno mu itu?” jawabku yang juga mulai merasa terlalu banyak meminum alkohol, membuat perutku terasa sedikit kembung. Belum lagi kandung kemihku yang telah mencapai kapasitasnya. Dan nama Morgenbesser hanya mengingatkanku akan kata beser. Aku mengenakan celana bahan yang kusesuaikan dengan bentuk lingkar kaki dan pinggangku, dan dalam keadaan seperti ini, sungguh bukanlah suatu kenyamanan.

“Entahlah, aku tidak tahu lagi. Aku mulai kehilangan fokus” ia menjawab seraya terkekeh, lesung pipinya menjalar di sekitaran bibirnya yang menghitam karena nikotin. “Satu hal yang pasti,” lanjutku “aku masih percaya akan pembebasan yang kontinum, tanpa akhir. Bukan hanya sekedar kimera, utopi belaka, tetapi pembebasan sebagai figur dan kombinasi yang terus aktif bergerak dalam keadaan apapun, dalam wujud apapun di keseharian.” Aku menghentikan perkataanku sejenak, memandangnya, ia masih sedikit tertunduk dengan alis yang semakin mengkerut. “Pembebasan yang kumaksud disini, adalah pembebasan yang dapat memberikan kita kapasitas untuk menjadi lebih dari sekedar semut-semut hirarkis tanpa kehendak. Aku tidak butuh revolusi besar-besaran. Yang penting adalah apa yang terjadi disini dan sekarang.” Jelasku panjang lebar ingin segera menutup pembicaraan ini. “Semua itu, ya, semua itu…” jawabnya seraya mengangguk. Anggukan yang tidak menandakan persetujuan, bukan juga tanda tidak setuju. Ia seperti mengangguk, hanya karena ia ingin mengangguk. Instingtif, tanpa makna terkandung didalamnya.

Aku membalasnya: “Iya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar