"Ketika teman-teman lama berangsur menjadi suara yang nyaring, dan ingatanku akan mereka kian mengabur dan layu, maka aku akan mengalihkan pendengaranku ke bebunyian yang jauh lebih dekat, bunyi dengan desibel terendah, yang hampir tak terdengar oleh sesiapa."
Cumbu Sigil, “Nyanyian Kasius” (2002)
* * *
Tidak ada hal yang lebih menjengkelkan bagiku belakangan ini,
daripada terlibat dalam adu mulut yang tak jelas juntrungannya. Semua
diperburuk dengan odor tengik alkohol dan ruang publik sebagai latar
suasana. Atmosfir barbar yang menyelimuti ruangan ini tak lagi dapat
disembunyikan. Ini jelas bukan tempat ideal untuk menggelar konferensi
Plato yang teratur dan termediasi seperti apa yang banyak dihadiri oleh
profesor dan akademisi (lebih seperti jamuan makan malam Genghis Khan),
ini adalah tempat dimana satu dari puluhan orang yang bertengger di
ujung-ujung meja tertawa terpingkal-pingkal dan lalu berseteru bak
pelawak tragis nan konyol, berpotensi untuk berakhir terkulai di atas
lantai hanya karena soalan sepele. Garis yang memisahkan antara
peradaban dan kegilaan sudah terlampau tipis disini. Entah apa yang
membuatku tergiur untuk menuruti ajakan kawanku untuk mengunjungi tempat
ini, aku yang justru lebih terbiasa dengan keheningan dan
kesunyian. Penyesalan memang selalu datang belakangan.
“Engkau memang seorang fanatik,” ujarnya dengan mimik yang mulai
serius. Raut wajahnya menggambarkan sikap prejudis, namun tak
sepenuhnya. “Maka engkau salah menilai diriku,” jawabku “Aku sama sekali
bukan seorang fanatik.” Ia meremas jari tangannya membentuk bogem
kepalan yang ia tumpukan diatas meja. Bukan pertanda amarah. Mungkin
hipotermia ringan, mengingat kami duduk tepat dibawah hembusan penyejuk
ruangan dengan suhu kisaran delapan sampai sembilan-belas derajat, yang
tentu bagi manusia dengan kulit tropis seperti kami, adalah sebuah
ketidaknyamanan. “Tidak masalah bagiku apakah engkau itu seorang fanatik
atau bukan sebenarnya, yang jelas, dimataku, engkau seorang
fanatik,” imbuhnya kali ini dengan nada yang sedikit lebih agresif.
“Maka aku bisa berkata sama. Tidak masalah apa yang kau pikirkan soal
diriku, yang jelas aku bukan seorang fanatik” tekanku membalas
ucapannya tersebut. “Bukankah aku pernah mengungkapkan kepadamu, bahwa
justru fanatisme adalah hal yang selalu kubenci? Aku bahkan sejauh
menghimbaumu untuk menanggalkan segala bentuk fanatisme,” lanjutku
berusaha untuk mengingatkannya. “Mungkin, ingatanku mengelabuiku, toh
aku tak begitu peduli dengan himbauanmu itu,” jawabnya. Ia disini lebih
terlihat seperti ingin mencari keributan ketimbang sekedar beradu mulut.
Aku merebahkan pundak kananku ke permukaan dinding yang terasa
dingin. Menghembuskan nafas, menenggak bir yang mengalir deras di dalam
tenggorokan. Gelas yang kugenggam perlahan mulai membuat telapak tangan
dan jemariku mengeriput. Aku memandang wajahnya yang masih dihiasi
dengan raut dan gestur konfrontatif seperti biasa. Jika ada satu hal
yang kutahu mengenai diriku sendiri, adalah aku bukan tipe orang yang
mudah tersulut emosi. Tidak tanpa alasan dan kondisi yang tepat. Aku
sedikit bersyukur bahwa ini tidak terjadi di hari yang terik dan panas.
Jika sebaliknya, maka bukan tidak mungkin bahwa gelas ini akan berakhir
di wajahnya, hanya karena ia telah membawaku kedalam obrolan sia-sia
yang telah berlangsung cukup lama, terlalu lama, saat aku hanya ingin bersenang-senang.
“Katakan kepadaku,” ia terhenti sejenak “sejak terakhir kita
bertemu, engkau masih saja bersikeras dengan politik multiplisitas
kekirian-mu itu, saat kupikir apa yang kita butuhkan sekarang adalah
justru solidaritas, persatuan, bukan malah perpecahan dan omong kosongmu
itu, bagaimana lagi aku harus mendefiniskan dirimu jika bukan seorang
fanatik?” tanyanya panjang lebar. Entah jawaban apa yang sebenarnya ia
harapkan dari pertanyaan yang baru saja ia lontarkan tersebut. Sejauh
apa yang kusadari, pertanyaan tersebut bersifat retorik. Ia hanya
menekankan apa yang sebelumnya telah berkali-kali ia tekankan
kepadaku. Sejujurnya, aku tidak tahu lagi siapa sebenarnya yang pantas
disebut fanatik, diriku atau dirinya. Itu tidak lagi penting. “Lagi-lagi
engkau salah menilaiku. Hanya karena aku mempunyai metodeku sendiri,
itu semua tidak lalu membuatku menjadi seorang fanatik.” Alisnya
terlihat mengkerut, membentuk alfabet “V”, kedua pundaknya pun membenam
di balik sweater yang ia pakai. “Bukankah sejarah telah mengajarkan kita bahwa
seringnya, kebuntuan sejarah justru dihasilkan dari gerakan yang
terpusat, dengan partai atau Negara yang berlaku sebagai representatif
tunggal? Tidakkah kau pikir bahwa itu sudah semestinya harus berubah?”
jelasku. “Engkau berkali-kali mengingatkan kepadaku soal Santayana:
mereka yang tidak mengenal dan mengakui sejarah, dikutuk untuk terus
mengulangnya. Dan kini hal ini terjadi padamu.” lanjutku tanpa jeda
sedikitpun. Ia tersenyum nyinyir, seolah perkataanku tersebut tidak
bermakna apapun baginya. Ia malah membalasku dengan jawaban yang
berintonasi sarkastik, kata positif dobel yang justru bermakna negatif:
“Ya, ya.”
* * *
Seorang dosen seni dan teori dulu pernah memberikanku sebuah tips
bermanfaat: bacalah buku seperti engkau mendengarkan sebuah lagu, hanya
mengingat melodi dan liriknya jauh setelah engkau membaca atau
mendengarnya. Itu yang seringnya terjadi pada diriku. Seperti ketika aku
mendengar ucapan sarkastik kawanku ini, yang seketika mengingatkanku
akan sebuah anekdot dari filsuf underdog asal Amerika,
Morgenbesser; seperti mengasosiasikan sebuah melodi dalam sebuah lagu,
dengan melodi dari lagu lain yang pernah kudengar.
Aku pertama kali mendengar nama Morgenbesser dari buku karya
Vila-Matas yang berisi anekdot dari filsuf, seniman dan penulis-penulis
yang mengidap semacam sindrom Bartleby, baik yang fiktif maupun yang
tidak. Memang sulit membedakan mana yang fiktif dan mana yang tidak,
mengingat Vila-Matas sendiri adalah seorang fabulis kontemporer yang
cukup termahsyur (sejajar dengan Bolaño, tentu saja). Bahkan karena
Vila-Matas lah aku kini selalu mengambil perhatian ekstra pada catatan
kaki dan anekdot dalam tiap buku yang kubaca. Kisah ini sejauh yang
kutahu, tidak hanya tercantum dalam novel Vila-Matas semata, tapi
faktanya, kisah ini cukup terkenal dikalangan akademisi, terlebih lagi
di kalangan akademisi Universitas Columbia Amerika Serikat.
Alkisah, seorang linguistik terkemuka J. L. Austin mengadakan
kuliah singkat di Universitas Columbia. Kuliah tersebut dipenuhi dengan
berbagai kalangan akademisi, mulai dari mahasiswa, sampai dosen-dosen
universitas, termasuk Morgenbesser sendiri. Dalam kuliahnya, Austin
mengemukakan bahwa meski seseorang dapat mengambil makna positif
dari penggunaan kata negatif dobel dalam sebuah bahasa, adalah tidak
mungkin bagi seseorang untuk dapat mengambil makna negatif via positif
dobel. Sebelum Austin sempat melanjutkan perkataannya, sebuah celetukan
sarkastik muncul menggema diantara kerumunan orang yang datang
menghadiri ruang auditorium kuliah, yaitu Morgenbesser: “Yeah, yeah.“
Aku sontak tersenyum dan terkekeh ketika pertama kali membaca anekdot tersebut.
Morgenbesser memang dikenal dengan selera humornya dan kemampuannya
untuk menyentil isu-isu kritis dengan caranya sendiri. Ia bukanlah
seorang filsuf prolifik yang menulis banyak esai dan buku seperti banyak
filsuf-filsuf lain, ia bahkan cenderung pasif dalam menulis. Ia lebih
memilih untuk memojokkan dan berargumentasi langsung dengan koleganya,
apa yang selalu ia sebut sebagai metode “kibitzing“:
intervensi intelektual tanpa henti. Artinya, ia percaya bahwa itu adalah
satu-satunya cara baginya untuk mempraktikkan falsafah nya, dalam
situasi-situasi banal dan arena-arena kecil kehidupan, bukan dalam
jurnal-jurnal akademis. Itu tak ayal membuat sosok dirinya menjadi
semacam badut, guyonan dalam kalangan akademisi yang cenderung
elitis, sekaligus menjadi sosok filsuf militan—’filsuf jalanan’ layaknya
Socrates—yang paling dihormati.
Aku teringat bahwa kawanku ini pernah berkata padaku bahwa ia
adalah penikmat Kierkegaard. Ia pernah mengakui dirinya sebagai seorang
eksistensialis, dan aku cukup yakin ia hanya berpura-pura. Berkali-kali
ia berusaha mengkontestasi (meski tanpa hasil) gagasan
anti-humanis, dan tentunya berkali-kali pula gagasan itu kubela. Aku
memang tidak banyak membaca Kierkegaard. Sekali-kalinya aku membaca
Kierkegaard adalah ketika aku masih menggandrungi eksistensialisme
beberapa tahun yang lalu, sebelum akhirnya Althusser menemukanku dan
merubah segalanya. Dan itu sudah terbilang lama. Tapi ada satu petikan
kata dari Kierkegaard yang kucatat (aku mempunyai kebiasaan mencatat
kutipan yang kuanggap penting dalam sticky laptop, kebiasaan yang nyatanya berguna), yang mungkin mempunyai kaitan dengan perilaku Morgenbesser. Kierkegaard berkata: apa yang benar-benar salah dari ketidakterbatasan (infinitude) adalah kurangnya keterbatasan (finitude). Sebuah epigraf dalam “Hyperion” novel karya
dari seorang penyair romantisis radikal abad ke-18, Holderlin, kata
yang juga ia ambil langsung dari epitaf batu nisan Santo Ignasius,
juga mengungkapkan hal yang serupa, bahwa: ia yang tidak terpenjara dalam kemegahan, tapi justru dalam kesempitan, adalah ia yang paling diberkati.
Kedua contoh petikan tersebut secara tidak langsung menggambarkan
kualitas yang dimiliki oleh Morgenbesser dan aforisme ‘filsafat jalanan’
nya, bagaimana ia dapat membentuk persepsi luas justru melalui arena
sempit, hal-hal yang kecil, banal dan sepele dalam kehidupan keseharian:
ketidakterbatasan dalam keterbatasan; kemegahan dalam kesempitan.
Mungkin kualitas ini juga yang dimiliki oleh pelukis maestro seperti
Vermeer, yang mampu memberikan nyawa dan ekspresi lugas tanpa pretensi
pada momen-momen dan gestur sementara yang ia tangkap sedemikian rupa,
hingga ke detil-detil terkecil ke dalam lukisannya: membuat signifikan apa yang sebelumnya dianggap insignifikan.
Atau Hammershoi, seniman asal Denmark yang awalnya terlihat prodigius,
sampai pada peralihannya menjadi ‘pelukis interior’ yang medioker di
sisa-sisa hidupnya. Aku sendiri percaya bahwa disini Hammershoi
bukan hanya sekedar membuang-buang bakatnya, menjadi pelukis medioker
seperti apa yang banyak kritikus seni kira, tetapi bisa jadi ia
justru membawa bakatnya ke tingkatan selanjutnya, dimana ia merasa perlu
dan mampu untuk memberikan perhatian ekstra pada hal-hal dalam ruang
lingkup terkecil, pada obyek-obyek insignifikan dan lalu memberikannya
secuil kehidupan, menjadikannya signifikan.
Hegel sendiri dalam esainya “Lectures on Fine Art” mengungkapkan
secara panjang lebar bahwa kualitas fundamental dalam melukis adalah
rasa cinta. Terlebih dalam karya-karya lukisan maestro era renaisans
abad ke-17 seperti Vermeer yang telah kuungkapkan tadi (yang lukisannya
justru tidak termasuk dalam klasifikasi renaisans). Cinta yang Hegel
maksud disini adalah bentuk cinta yang paling fundamental, yaitu:
kesediaan untuk mengamati, meresapi subyek yang dicintai sebagai bagian
dari semacam pencapaian transendental bagi ia yang mengamati (aku pernah
membahas soal tatapan ini di tulisanku sebelumnya). Siapa yang tidak
tersentuh dengan ekspresi seorang gadis dalam “Girl With Pearl Earring” karya Vermeer? Atau detil-detil dalam “A Maid Asleep” dan karya favoritku “The Geographer” ? Kierkegaard menyebut proses ini sebagai pembatasan melalui imajinasi: seseorang dapat bersentuhan dengan keabadian bukan melalui
gambaran dari apa yang agung dan mahamulia semata, sebaliknya, ia
didapat dari hal-hal dan skena-skena banal disekitar kita yang dihidupkan oleh tatapan penuh rasa cinta dari sang pelukis (dan kita selaku spektator).
* * *
Aku harus mengakui bahwa ada kualitas tersendiri dalam diri kawanku
ini yang perlahan mulai kusadari, seberapapun aku terkadang membenci
tabiatnya ini. Ia memang bukan seorang Morgenbesser. Ia tidak mempunyai
selera humor, dan kecerdasannya tentu bisa kukatakan berbanding
jauh dengannya (tindakan bodoh bahkan untuk berusaha membandingkan
dirinya dengan Morgenbesser). Ia juga bukan seorang pelukis maestro
seperti Vermeer atau Hammershoi yang mampu menyalurkan segala
kecintaannya pada subyek yang ia geluti secara detil dan penuh presisi.
Karena jika ada satu hal yang dapat mendeskripsikan dirinya secara
keseluruhan, adalah inkonsistensi. Tapi yang patut disadari disini,
adalah bahwa ia memiliki pola dan urgensi yang sama. Keinginan dirinya
untuk terus membicarakan bagaimana hidup berpolitik (bukan politik per se),
berdebat dari satu topik ke lainnya, tak peduli dimana tempatnya, dalam
suasana yang kondusif atau tidak, adalah merupakan cara baginya untuk
tetap bersentuhan dengan apa yang banal. Karena jelas baginya, setiap
pelangi pasti berakhir, sedangkan langit akan terus ada. Baginya,
perdebatan seperti ini tidak pantas dilakukan di ruang diskusi yang
tertutup, atau kanal-kanal forum media online—seperti banyak
dari imbisil-imbisil narsisistik yang gemar berbicara seenaknya dan lalu
berlindung di balik kompleksitas dunia internet dengan kedok anonimitas
untuk menutupi kedunguannya—sebaliknya, perdebatan semacam ini justru
pantas dilakukan di tempat yang bersentuhan langsung dengan hiruk pikuk
kehidupan, mata bertatap dengan mata; filsafat dengan hidup; teori
dengan politik, saling bersenggama. Lenin tentu akan membenci
orang-orang seperti dirinya, yang hanya banyak berbicara, tapi untung
baginya aku bukan seorang Lenin.
“Berpolitik itu artinya membiarkan politik tetap ada, membiarkan Negara tetap ada,
bukan justru menghancurkannya, membuatnya tercerai berai” wajahnya
mulai terlihat memerah, entah apa karena efek lampu yang jatuh tersorot
tepat di sisi kiri wajahnya atau murni karena asupan alkohol. “Engkau
sungguh percaya akan pemikiranmu itu? Sebegitunya engkau bersikeras
untuk mengulang kesalahan yang sama, dengan interpretasi kuno mu itu?”
jawabku yang juga mulai merasa terlalu banyak meminum alkohol, membuat
perutku terasa sedikit kembung. Belum lagi kandung kemihku yang telah
mencapai kapasitasnya. Dan nama Morgenbesser hanya mengingatkanku akan
kata beser. Aku mengenakan celana bahan yang kusesuaikan dengan
bentuk lingkar kaki dan pinggangku, dan dalam keadaan seperti ini,
sungguh bukanlah suatu kenyamanan.
“Entahlah, aku tidak tahu lagi. Aku mulai kehilangan fokus” ia
menjawab seraya terkekeh, lesung pipinya menjalar di sekitaran bibirnya
yang menghitam karena nikotin. “Satu hal yang pasti,” lanjutku “aku
masih percaya akan pembebasan yang kontinum, tanpa akhir. Bukan hanya
sekedar kimera, utopi belaka, tetapi pembebasan sebagai figur dan
kombinasi yang terus aktif bergerak dalam keadaan apapun, dalam wujud
apapun di keseharian.” Aku menghentikan perkataanku sejenak,
memandangnya, ia masih sedikit tertunduk dengan alis yang semakin
mengkerut. “Pembebasan yang kumaksud disini, adalah pembebasan yang
dapat memberikan kita kapasitas untuk menjadi lebih dari sekedar
semut-semut hirarkis tanpa kehendak. Aku tidak butuh revolusi
besar-besaran. Yang penting adalah apa yang terjadi disini dan
sekarang.” Jelasku panjang lebar ingin segera menutup pembicaraan ini.
“Semua itu, ya, semua itu…” jawabnya seraya mengangguk. Anggukan yang
tidak menandakan persetujuan, bukan juga tanda tidak setuju. Ia seperti
mengangguk, hanya karena ia ingin mengangguk. Instingtif, tanpa makna
terkandung didalamnya.
Aku membalasnya: “Iya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar