Selasa, 22 Juli 2014

Tentang Pernikahan: Surat Untuk Ebby Doombray


Tulisan ini selesai ditulis pada January 2014, untuk mengenang pertemuan dengan Ebby Doombray, vokalis Kontra Sosial. Sebulan sebelumnya, pada festival Chaos in Rumah Api (CIRA) December 2013, di Kuala Lumpur, Malaysia, Ebby membagi kabar gembira mengenai rencana pernikahannya.

Saya yang sempat berjanji pulang ke Indonesia agar dapat menghadiri kegembiraan tersebut, urung datang karena urusan pekerjaan. Surat ini juga sempat lenyap untuk sementara di antara tumpukan file lain sebelum akhirnya laptop lama saya mengalami kerusakan.

Beruntung beberapa hari lalu, seorang kawan berhasil menyelamatkan files yang ada di hard disk. Termasuk surat ini. Kini, saya bisa mempublikasikannya agar Ebby dapat membacanya.

* * *

Dear Ebby,

Layaknya surat yang lain, tentu ada basa basi. Meski sekedarnya. Sekaligus ingin mengucapkan selamat untuk rencana pernikahannya. Sebuah kegembiraan baru dalam perjalanan hidup kini memasuki langkah berikut.

Tak lama lagi, kau akan menjadi seorang suami. Akan memiliki seorang istri. Dan yang lebih hebat lagi, akan memiliki sepasang ayah dan ibu mertua. Mungkin ada saudara dari calon istrimu, mereka yang akan kau sebut ipar. Lingkar sosial mu akan bertambah gemuk dengan kehadiran orang-orang tersebut.

Sekali lagi selamat.

Secara formasi, hidup mu akan berubah ketika memutuskan menikah. Namun apakah itu juga merubah esensi hidup mu, tak ada yang tahu selain diri mu sendiri.

Pernikahan, adalah titik sensitif yang tak pernah sederhana dalam perjalanan hidup seseorang. Tak peduli kau komunis, anarkis, punk, hippies, boyband atau bahkan militan dangdut. Setiap orang akan mengalami transisi sosial dan psikologis ketika memutuskan menikah. Tak peduli apakah itu pernikahan heteroseksual atau homoseksual. Dalam timbangannya sebagai salah satu institusi sosial, setiap pernikahan tetap akan diartikan sebagai upaya mendomestifimasikan hubungan antara dua orang. Pernikahan tetap merupakan ruang di mana ada dua orang yang menyatakan komitmen dan kemudian secara sadar melembagakan ikatan tersebut.

Kau dan calon istri mu adalah wajah-wajah baru dalam potret pernikahan. Setidaknya secara kualitatif, Ebby yang terakhir kali saya jumpai di Ampang, akan berbeda dengan Ebby yang mungkin saya temui nanti.

Dan itulah indahnya perjumpaan dengan kawan lama. Ketika menemukan kejutan-kejutan yang membekas di wajah setelah mereka menjalani waktu di mana kita bukan bagian integral di dalamnya. Itu manisnya kenangan dalam menghargai ingatan. Romantis namun juga realis.

Di tengah dunia yang terus menerus mengalami krisis karena keserakahan akumulatif, mendapati kabar bahwa kau akan menikah merupakan interupsi yang terasa tepat. Ketika hidup harian cenderung banal dan membosankan dengan aktifitas yang repetitif, pesta pernikahan mu justru memiliki arti lebih dari sekedar agenda seremonial belaka. Bukan pada soal seberapa banyak dan variatif menu jamuan di pesta mu nanti, namun berapa banyak kawan yang akan datang dan mentransformasikan momen tersebut menjadi ajang reuni dan melepas rindu.

Secara sublim, saya meyakini bahwa hal itu akan terjadi. Perayaan pernikahan mu akan menjadi festival yang mengintegrasikan individu-individu lain ke dalamnya, dan mengubahnya ke dalam bentuk jaringan kebahagiaan di mana setiap orang akan mengambil peran untuk mendorong tawa dan senyum ke level yang lebih radikal.

Bukankah itu jauh revolusioner?

Mendistribusikan kebahagiaan hingga ke tahap personal melalui sebuah iven temporal yang diinterupsi secara sadar oleh si kreator. Ketimbang membuang energi untuk melakukan demonstrasi di depan gedung parlemen sembari meneriakan bahwa punk bukan preman. Bukankah merayakan hidup jauh lebih bermakna ketimbang pemilihan presiden yang sebentar lagi dihelat? Bukankah menertawakan kegagalan justru membuat kita lebih sehat secara mental, daripada melakukan yoga atau meditasi untuk mengendalikan amarah?

Dan saya percaya itu bisa terjadi di pesta pernikahan mu nanti. Dalam skala sekecil apapun. Itu tak jadi soal karena bukan kuantitas yang menentukan, melainkan capaian kualitas.

Tentu saja akan ada barisan ideologis yang akan mencerca pilihan seseorang seperti mu untuk menikah. Kumpulan para idealis yang gagal memahami realitas hingga menyembunyikan diri di balik kutipan-kutipan teoritik demi kepuasan masturbatif. Akan ada mulut-mulut yang mencibir pilihan seseorang untuk menikah, hanya karena hal ini tidak sesuai dengan kriteria yang mereka tetapkan. Dan saya yakin, kau hanya akan mengacuhkan mereka. Membiarkan gonggongan itu berlalu dan larut ke dalam selokan.

Saya sangat berharap bisa datang dan menjabat erat tangan mu saat itu. Sekaligus ingin melihat dari dekat bagaimana lucunya safari yang bakal kau kenakan. Ada rasa penasaran apakah janggut dan kumis mu akan dicukur rapi atau tidak. Juga jenis make up seperti apa yang akan dipakaikan kepada pengantin seperti mu. Ini peristiwa Halley. Terjadi sekali dalam 86 tahun. Semestinya tak boleh dilewatkan.

Tapi apa daya. Kemungkinan besar saya takkan bisa bergabung dalam gelombang keceriaan tersebut. Urusan pekerjaan belakangan memadat hingga membentuk dinding yang memagari saya dari keinginan untuk terbang. Ini adalah konsekuensi logis atas pilihan yang telah saya ambil. Semoga kau bisa mengerti.

Itu mengapa, surat ini saya tulis lebih awal. Sebagai rencana cadangan andaikata saya benar tak bisa menepati janji. Lagipula, saya sudah terbiasa ingkar dan menanggalkan janji dengan orang. Namun jika ada celah untuk ke Jakarta dan menyaksikan acara kenduri mu, tentu itu akan jadi opsi paling prioritas. Namun untuk saat ini, saya masih belum dapat memberikan garansi.

Oh iya, saat sedang menulis surat ini, salah satu single dari Begundal Lowokwaru sedang saya putar berulang di ponsel. Juga ada selinting Holly Grass yang saya hisap sembari membiarkan jari jemari saya berdansa di laptop. Di bawah meja, ada sebotol vodka Vietnam yang mungkin akan jadi kalo pernikahan buat mu.

Selamat berbahagia, kawan. Sungguh, selamat bahagia.


A
Lumpini, Bangkok. January 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar