I saw all the mirrors on earth and none of them reflected me…
― Jorge Luis Borges, “The Aleph”
Penglihatan 20/20 itu mengindikasikan penglihatan yang normal, tetapi
batas normal tersebut tidak akan tercapai apabila lensa bentukan alami
di dalam kedua bola mata kita tidak berfungsi dengan semestinya. Seiring
bertambah dewasa, kita menuntut lebih banyak lensa baru untuk melihat
dunia, sebab, lensa dalam kedua bola mata kita tidaklah pernah cukup
untuk melampaui begitu banyak titik-titik sudut pandang yang mati.
Keterbatasan jarak lihat dan sudut pandang adalah merupakan sebuah
kendala, jika bukan suatu anomali, dalam proses kita memaknai dunia.
Sampai pada akhirnya, lensa kamera pun ditemukan, dan dengannya,
perspektif dan cakrawala baru terbuka lebar.
Kita biasa diajarkan melihat dunia di sekitar kita melalui lensa
seksis (bagaimana perempuan adalah makhluk inferior daripada laki-laki,
perempuan tidak layak bekerja dan seterusnya), atau lensa feodal
(menghormati majikan, memelihara rantai hirarki dan menghormati
oligarki), dan lalu dalam tahapan selanjutnya—jika kita cukup
beruntung—kita diajarkan cara-cara bagaimana menanggalkan lensa-lensa
tersebut dan menggantinya dengan lensa-lensa posmodernis, strukturalis,
dekonstruksionis, poshumanis dan semacamnya, lensa yang jauh lebih
progresif ketimbang sebelumnya. Lensa alami kedua mata yang kita gunakan
tidak pernah berhenti berubah secara biologis, begitu juga hal nya
dengan lensa epistemologis kita yang tak hentinya berkembang dan
bertransformasi seiring waktu berjalan. Bukan sebuah asumsi berlebihan
jika aku berkata bahwa kita semua pada dasarnya ingin mempunyai
pandangan 20/20 atas semua hal yang terjadi, dengan visi dan komprehensi
sejelas kristal murni. Tapi setiap realis tentu menyadari bahwa hal itu
tidak akan pernah mungkin. Kita tidak sedang berada di dalam kisah
pendek Borges, “The Aleph”, dimana kita diberi kemampuan khusus
bagaikan Tuhan untuk melihat apa-apa saja yang terjadi secara simultan,
serentak—melihat segala kepedihan, kebahagiaan, kemajemukan yang
terjadi di dunia ini, dengan kejernihan sempurna, tanpa bias, tanpa
keruh, seperti mata air di pegunungan. Pandangan kita terhadap dunia
amat bergantung dan berbatas pada seberapa baik (atau seberapa buruk)
lensa yang kita pakai untuk melihat dunia.
* * *
Beberapa bulan terakhir gegap gempita pesta “demokrasi” kembali
dirayakan. Hampir sebagian dari seluruh masyarakat Indonesia merasa
mereka sedang menjadi bagian dari sebuah gerakan perubahan yang
benar-benar otentik. Mereka berbondong-bondong memasarkan diri mereka
sendiri sebagai agen perubahan, dengan memajang nomor urut presiden di
samping foto-foto akun media sosial mereka, menyebar propaganda (baik
yang genuin atau tidak), membuat video yang menunjukkan dukungan ataupun
parodi-parodi bernada sarkastik yang ditujukan kepada calon kandidat
tertentu dan mengunggahnya di Youtube, mereka juga tidak lupa menyoblos
dan lalu mem-posting foto selfie mereka dengan noda
tinta di jari-jari mereka. Entah darimana tren ini muncul, tetapi
fenomena ini menjelaskan sedikit banyak kepadaku mengenai kritik Wilhelm
Reich perihal ciri-ciri narsisistik dalam psikologi gerakan massa.
Kini, dengan terpilihnya salah satu kandidat sebagai presiden pun tidak
merubah keadaan tersebut. Aku sendiri adalah satu dari segelintir orang
yang masih enggan berbicara secara terbuka soal posisiku dalam pemilihan
presiden kali ini. Jika dibandingkan dengan mereka-mereka yang hampir
setiap hari, sejak berminggu-minggu lalu berkampanye melalui media
sosial, menyuarakan opini, mencaci maki satu sama lain, mengungkapkan
secara jelas posisi dan dukungannya terhadap calon-calon tertentu,
posisiku jelas terkesan ambivalen. Setidaknya dari mata pengamat selain
diriku. Karena dari sudut pandang diriku sendiri, disini, posisiku sudah
jelas. Dan aku berniat untuk membiarkannya seperti ini.
Penolakan memang sesekali pernah kutujukan terhadap salah satu
kandidat, yang kurasa lebih merupakan obligasi dan kesadaran moral
diriku sendiri dibandingkan apapun. Aku bahkan tidak akan menghabiskan
waktuku untuk membicarakan soal dirinya. Tetapi aku juga tidak pernah
secara terang-terangan mengungkapkan kesediaanku untuk menjadi pendukung
kandidat yang lain.
Aku tidak terpengaruh untuk menanggapi dan menghidupi demokrasi
seperti apa yang dilakukan oleh kebanyakan orang, yang seringnya
menganggap bahwa demokrasi artinya adalah semata-mata tentang seberapa
keras dan lantang engkau dapat bersuara dan berekspresi (apa bedanya
dengan ajang kompetisi bakat kacangan di televisi?), tentang
memperjuangkan hak setiap individu untuk mendapat kesempatan yang sama
di hadapan para penguasa Kapital (lagi, apa bedanya dengan ajang
kompetisi bakat kacangan di televisi?). Kultur sycophantic yang
jika dilihat melalui kaca mataku, teramat menjijikan. Memperkeras suara
dan mempertajam gestur di kehidupan modern yang sudah terlalu penuh
dengan hiruk pikuk dan kebisingan seperti sekarang ini, adalah tindakan
yang sia-sia, jika bukan keras kepala.
Seiring waktu, aku tak hentinya belajar untuk terus memperbaharui
lensa epistemologis yang kupunya, salah satunya adalah dengan menghidupi
demokrasi sebagaimana Foucault menanggapi proposisi filosofis dari
“kondisi kemungkinan” (Kant), yaitu dengan terus mencari varian, sebuah
alternatif dari pengertian kuno yang telah ada mengenai makna dan
implementasi demokrasi. Alternatif yang kumaksud disini adalah sebuah
metode analisa yang dapat membolehkan kita untuk mempertanyakan sebuah kondisi eksistensi (bagaimana sesuatu ada, bagaimana sesuatu itu terjadi, dan seterusnya), bukan semata-mata kondisi kemungkinan (kemungkinan
dari sesuatu fenomena). Artinya, aku disini tidak ingin untuk terus
menerus mempertanyakan pertanyaan transendental mengenai kondisi
kemungkinan dari sebuah event (Badiou) atau fenomena-fenomena
politik yang terjadi (bagaimana jika si A atau si B terpilih menjadi
presiden, dan sebagainya), tetapi disini aku lebih mempertanyakan soal
kondisi historis dari sebuah eksistensi fenomena tersebut.
Aku sengaja menekankan kata fenomena disini. Fenomena itu berbeda
dengan konsep. Lagi, menggunakan kaca mata dan pola pikir seorang
materialis, aku tentu mempunyai keyakinan bahwa fenomena itu sifatnya
eksternal, terdiri dari aspek-aspek yang terpisah dan tercerabut dari
relasi antar benda. Fenomena adalah tahap pertama dari
keseluruhan proses kognitif nalar manusia. Sedangkan konsep—berbeda
dengan fenomena—menyentuh esensi dari relasi internal antar benda dalam
segala totalitasnya. Konsep adalah bentuk konkret dari keseluruhan
proses kognitif tersebut.
Kemenangan seorang kandidat bernomor dua, yang dielu-elukan
masyarakat karena retorika, gimik dan aksi-aksi populisnya, bagiku tetap
adalah sebuah fenomena panjang. Dan masih akan terus berkelanjutan
sampai lima tahun kedepan. Berlatar belakang keluarga miskin dan serba
apa adanya, ia dianggap sebagai simbol, personifikasi dari ‘pergelutan
antar kelas’ yang telah sukses memukul dan memutus rantai oligarki (dan
seperti simbol lainnya, ia rawan untuk dihancurkan). Ia
mengkampanyekan sebuah agenda masif yang ‘mulia’ (jika tidak bisa
dibilang pretensius) seperti panggilan revolusi dalam skala nasional,
sebuah “revolusi mental”, revolusi yang juga disinyalir berakar pada
gagasan kekirian (re-edukasi Marx), meski tidak sama dan terkesan
terlalu simplistik di telinga.
Societyis the name that the Irreparable has often receivedamong those who also wanted to turn it intothe Unassumable.He who refuses this delusion will have to takea step to the sideto makea slight displacementfrom the common logicof Empire and its protestthe logic of mobilization,from their common temporality,the one of emergency.
— Tiqqun, “How Is It To Be Done?”
Aku menyadari bahwa panggilan revolusi yang bernada nasionalis
seperti ini memang adanya adalah tren masa kini yang sedang banyak
digandrungi oleh pemuda-pemudi ‘progresif’ di negara-negara pos-kolonial
(meski tidak secara eksklusif), terlebih di dataran Asia Pasifik
seperti Thailand, Filipina, Malaysia dan Indonesia. Euforia ini
menjangkiti hampir seluruh orang yang berada disekitarku, tidak
terkecuali keluargaku sendiri. Harus kuakui bahwa fenomena ini bukan
sepenuhnya hal yang buruk. Seorang revolusioner-nasionalis seperti nomor
dua ini, dalam tahapan tertentu, kuanggap cukup mampu untuk
melihat melampaui perbedaan ‘kelas’ itu sendiri. Dengan menarik simpati
masyarakat melalui kinerja dan aksi langsung, juga melakukan reli dalam
skala nasional, ia mampu menciptakan persatuan spontan yang melebihi
konflik kepentingan antar kelas. Sejarah telah membuktikan, bahwa
revolusi nasional di Negara Ketiga sejauh ini adalah gelombang radikal
yang paling sukses, dimulai sejak pertengahan abad ke-20 dan juga dengan
moda dan bentuk yang bermacam-macam, mulai dari revolusi
ultra-nasionalis a la Nazisme di Jerman dan Pétainisme (rezim Vichy) di Perancis, revolusi proletariat yang tersebar di negara-negara Amerika Latin, “The National Revolution of 1952″ di Bolivia dan Revolusi Kuba beberapa dari banyak contoh, sampai revolusi nasional a la
Soekarno di arkipelago Indonesia. Berbagai macam komponen grup dan
kelas yang berbeda dalam suatu Negara, bergabung menghadapi antagonisme
yang sifatnya eksternal, entah itu dalam bentuk anti-imperialisme atau
murni xenophobia. Dalam “Manifesto Komunis”, Marx juga sempat
memindai bahwa segala macam bentuk pertentangan kelas, awalnya memang
cenderung bersifat nasionalistik, lalu kemudian baru bekerja melampaui
itu.
Tapi pertanyaannya sekarang, apakah revolusi nasional yang
dicanangkan oleh kandidat nomor dua ini dapat bergerak melampaui
fenomena dan euforia etnisitas, menuju revolusi yang sesungguhnya, yaitu
revolusi sebagai sebuah konsep yang menyentuh gagasan
obyektif/universal? Atau lagi-lagi ini hanyalah merupakan manuver
atau varian dari Obamaisme—revolusi borjuis dengan ‘rasa baru’—untuk
mendompleng popularitas, membuai masyarakat dengan nesesitas dan
kesadaran palsu yang didasari oleh asas dan nilai-nilai neoliberal?
Kedua kandidat sama-sama mempromosikan kedaulatan yang bersifat
demokratis. Tapi demokratis dalam hal apa? Demokrasi macam
apa? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini yang luput dari perhatian banyak
orang.
Hampir semua orang ingin berpikir bahwa mereka sedang menuju
demokrasi, tapi sedikit dari mereka yang benar-benar mempunyai kemampuan
reflektif dan kritis untuk mengartikan apa itu sebenarnya yang dimaksud
dengan demokrasi. Kata “demokrasi” sekarang adalah merupakan penggerak
utama dari konsensus dunia. Adalah sebuah kejahatan untuk tidak menjadi
orang yang ‘demokratis’ di masa sekarang. Demokrasi, seperti apa yang
kita ketahui, dianggap sebagai hal yang ‘normal’, biasa-biasa saja,
setara seperti ketika engkau dengan mudahnya meludah di jalanan.
Disinilah kebutuhan untuk kembali berfilsafat muncul.
Jika berfilsafat, paska Plato, artinya adalah untuk menjauh dari
opini mayoritas, maka berfilsafat artinya adalah juga untuk mengkritisi
dan mempertanyakan apapun yang dianggap ‘normal’. Dan apabila kata
‘demokrasi’ sudah dianggap normal, menjadi semacam kesadaran kolektif
dalam berorganisasi, atau menjadi kehendak lazim dalam berpolitik, maka
tugas mereka yang masih gemar berfilsafat adalah untuk mendorong dan
mempertanyakan agar kenormalan ini dikaji ulang. Kebiasaan berfilsafat
membuat siapapun curiga akan segala hal yang sifatnya konsensual. Baik
itu perihal demokrasi, maupun fenomena salam dua jari yang menyihir
segenap masyarakat Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar