Kamis, 14 Agustus 2014

Manusia Biasa: Tentang Kekerasan

You’ll never understand, Wayne. You and me, we’re not even the same species. I used to be you, then I evolved. From where you’re standing, you’re a man. From where I’m standing, you’re an ape. You’re not even an ape. You’re a media person. Media’s like the weather, only it’s man-made weather. Murder? It’s pure. You’re the one made it impure.
[...] Shit, man … I’m a natural born killer.
—Mickey Knox, Natural Born Killers

Beberapa malam berselang, seorang kawan berkata kepadaku di tengah sebuah perbincangan ringan.
—Engkau benar-benar sinis dengan manusia. Apa tidak ada yang bisa diharapkan dari manusia saat engkau sendiri seorang manusia?
Aku tidak berkata bahwa manusia sepenuhnya buruk. Tetapi aku hanya melihat kemungkinan bahwa manusia punya potensi gelap. Dan itu harus diakui. Diwaspadai.
Satu hal lagi, aku tidak sinis. Aku hanya menerima bahwa manusia punya potensi gelap yang mengerikan.
—Selalu ada kemungkinan manusia berbuat jahat. Berarti dirimu juga? Itu membuat dirimu dalam posisi sebagai penjahat, bukan?
Punya potensi, kataku.
Aku tidak bilang kalau aku jahat, walaupun dalam beberapa kasus tertentu, aku sadar tindakanku bisa dianggap jahat.
Tapi aku juga bukan orang baik.
—Baiklah. Jadi menurutmu manusia biasa juga memiliki potensi itu?
Manusia. Manusia biasa. Semua juga manusia. Lelaki, perempuan, bajingan, pendeta, ustadz. Semua manusia juga. Dan iya, aku tidak suka istilah manusia biasa, seakan ada manusia-manusia luar biasa. Superman si alien cacat mental yang mengenakan celana dalam di luar, maksudnya? Lagipula ia bukan manusia.
—Manusia, dalam pendapatku, pada dasarnya baik.
Manusia. Eksperimen Milgram memperlihatkan keberadaan potensi gelap tersebut. Beri secara acak sepuluh orang senjata. Apa yang akan mereka lakukan adalah menyiksa dan membunuh, sepanjang mereka tidak perlu bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan, dan sepanjang mereka tetap aman.
Bukankah itu kisah dari divisi khusus 101st, batalyon polisi yang dioperasikan Nazi dalam Perang Dunia II? Divisi tersebut berisi orang-orang biasa, orang-orang yang berkeluarga, memiliki pekerjaan tetap yang stabil, bukan anggota Nazi, bukan para fanatik, dari berbagai latar belakang. Wehrmacht merekrut orang-orang biasa ini sebanyak 500 orang saja di tahun 1942 dan dikirimkan ke daerah pinggiran dan pedesaan Polandia.
Tahu apa yang terjadi selanjutnya?
—Tidak.
Kawanku menggeleng pelan.
Dalam 16 bulan, mereka membunuhi sekitar 38.000 Yahudi. Lelaki, perempuan, anak-anak, manula, semuanya. Divisi ini adalah juga pemasok kamp-kamp konsentrasi yang paling getol, di mana divisi tersebut tercatat mengirimkan 45.000 orang hanya dalam waktu kurang dari setahun. Mereka, orang-orang biasa itu, bisa saja menolak, toh tak ada paksaan untuk bergabung dalam divisi tersebut. Semuanya adalah sukarelawan. Mereka bisa menolak.
Hingga hari ini, beberapa dari mereka yang masih hidup ada yang masih mendapatkan dana pensiun dari pemerintah Jerman dan dinyatakan sebagai veteran, bahkan beberapa dianggap sebagai korban perang.
—Itu kasus Nazi Jerman, yang memang terkenal jahat. Di Indonesia?
Pertama, mereka bukan penjahat. Mereka adalah orang-orang biasa. Kedua, tak ada yang berbeda dengan kasus pembantaian para anggota, kader dan simpatisan komunis di masa-masa pasca kasus 30 September 1965 di sini. Memangnya siapa yang paling banyak beraksi dalam berbagai penjagalannya? Militer? Preman bayaran? Bukan. Sama sekali bukan. Pelakunya kebanyakan orang-orang biasa yang sebenarnya bisa saja tidak melibatkan diri dalam aksi pembantaian. Tapi kebanyakan juga dengan sukarela menjadi jagal. Tak dibayar atau digaji seperti divisi 101st malah.
Manusia biasa, katamu tadi? Tanyaku.
Kawanku hanya termangu.
Apabila kita benar-benar mau berpikir lebih jauh, kita semua adalah pembunuh—dalam satu atau lain cara. Sebagian membunuh, mengambil kehidupan, tetapi seperti yang diutarakan oleh Mickey Knox, orang-orang menyebutnya industri. Sebagian lain disebut patriotik, sebagian lain disebut jihad atau perang suci.
Tak hanya manusia, melainkan setiap kehidupan. Kita semua berada dalam siklus kekerasan yang tak pernah terputus untuk mendapatkan tempat kita di atas bumi. Kehidupan hanya mendapatkan energinya dari pengorbanan hidup yang lain. Selalu saja caranya demikian. Aku tidak akan berbicara mengenai seorang kawan lamaku yang mengaku vegan tetapi memiliki kegemaran memancing ikan—walaupun ikan hasil tangkapannya tidak ia makan. Aku tidak berbicara soal anak-anak di Cina yang bekerja seperti budak memproduksi banyak komoditi agar anak-anak di negara Dunia Pertama dapat tampil keren di sekolah dengan produk komoditi tersebut. Atau juga tentang senjata yang disebar ke berbagai penjuru dunia agar perang-perang kecil selalu berkelanjutan.
Aku bisa saja berbicara soal hal itu, tapi rasanya daftarnya akan terlalu panjang dan ia akan bosan mendengarkanku meracau. Tapi toh aku tetap melanjutkan meracau.
Lihat bangsa Jerman dengan pemusnahan yahudi mereka dalam Perang Dunia II; bangsa Turki dengan pemusnahan bangsa Armenia; bangsa Irak terhadap kaum Kurdi; Spanyol terhadap native America; bangsa Amerika terhadap native America; bangsa Cina terhadap bangsa Tibet; Australia terhadap suku aborigin; Inggris? Perancis? Jepang? Bahkan Indonesia, dengan program pemusnahan kaum komunisnya. Sejarah manusia penuh berisi kekerasan dan darah. Kita hidup di atas tumpukan bangkai, tetapi orang-orang tetap bersikeras bahwa manusia pada dasarnya baik.
Bukankah agama juga diturunkan, pada konsepnya adalah sebagai penjaga, pemberi batas bagi manusia, untuk menyelamatkan manusia bukan dari apapun atau siapapun melainkan dari diri mereka sendiri?
Kawanku menatapku. Hanya menatapku. Aku tidak tahu apa yang ada di balik tatapannya. Tak juga dalam pikirannya soal diriku. Ia hanya menatapku.
Aku tidak sinis, ujarku lagi mengulangi. Aku hanya menerima ini sebagai bagian dari diri kita sebagai manusia. Sebagai anggota subspesies homo sapiens sapiens.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar