Aku masih ingat, bagaimana di suatu siang, nyaris tiga tahun lalu, aku menikmati makan siang sederhana di sebuah rumah makan mungil di kawasan Salemba bersama kekasihku.
Kami tak banyak bercakap-cakap. Kami lebih memfokuskan perhatian kami pada layar televisi. Ada sebuah berita di televisi yang menarik perhatian kami. Seorang pemuda tanggung menggantung dirinya sendiri, diduga akibat patah hati apabila melihat dari sebuah surat cinta yang ia tinggalkan di sebelahnya. Tidak, tidak. Kasus bunuh diri mungkin telah menjadi sesuatu yang lumrah di dunia posmodern di mana orang-orang mengalami kesepian akut. Tidak, bukan hal itu.
Apa yang menarik perhatian kami adalah komentar sang pembawa berita: “Sang pemuda memilih mengakhiri hidupnya hanya karena persoalan cinta.”
Aku masih ingat, hingga kini, bagaimana kami saling berpandangan dan disusul dengan gerutuan kekasihku. Kami berdua jelas merasa keberatan atas komentar sang pembawa berita. Persoalan cinta, tidak seharusnya disandingkan dengan kata-kata “hanya”.
Mungkin ia, sang penulis berita tak pernah tahu rasanya jatuh cinta, mungkin ia pernah disakiti tak terlalu dalam sehingga hanya berujung pada kesinisan, mungkin juga ia hanya sok tahu. Tapi kami berdua tahu. Kami berdua masih dipenuhi api asmara kala tersebut.
Kini setelah sang kekasih tersebut pergi dan hatiku berkeping-keping, dalam satu bulan patah hati terburukku, aku telah belajar banyak hal. Tidak hanya hal tersebut mendorongku untuk mengaji ulang perjalanan hidupku selama ini dengan lebih mendalam—yang membuatku lebih memahami diriku sendiri—melainkan juga menarikku ke dalam dunia ilmiah tentang mengapa manusia—termasuk diriku tentu saja—yang selama ini mengagungkan rasionalitas, justru bertindak irasional, hiperaktif, sembrono, gembira dan juga, lebih tepat disebut, kegilaan. Hal yang juga semakin menjelaskan tipe jalan macam apa dan mengapa CrimethInc. memilih pemberontakan berdasar sensasi jatuh cinta dan mengapa para Leninis dalam PRD menyatakan bahwa jatuh cinta yang demikian menggebu adalah sebuah tindak kontra-revolusioner: jatuh cinta membuat seseorang tak terkontrol.
Kegilaan kataku. Hal ini ternyata memang dibenarkan oleh sederetan pakar ilmiah, dari ahli biologi, neurologi, hingga psikiatris, bahwa eros, tipe cinta yang membara dan romantis, ternyata memberi komposisi kimiawi ke dalam otak pengidapnya sesuatu yang serupa dengan orang-orang yang divonis menderita penyakit obsesif-kompulsif. Dengan kata lain, cinta, mengaburkan batasan antara kesehatan mental dan psikopatologi.
Maka, kala kasus psikopatologi dianggap “hanya”, mungkin justru masyarakat hari ini telah secara diam-diam menganggap Jeffery Dahmer dan Dr. Mengele sebagai seseorang yang biasa-biasa saja. Common people.
Tahun 2006, Helen Fisher, seorang antropolog di New York City, Amerika Serikat, menyusun sebuah penelitian dengan mengandalkan mesin MRI (Magnetic Resonance Imaging), mengumpulkan sekian banyak orang-orang yang sedang dimabuk cinta akut, cinta dalam kategori eros. Para pecinta ini ditunjukkan dua buah foto. Satu adalah foto orang yang tak mereka kenal dan satu lagi adalah foto orang yang menjadi sasaran panah cupid mereka.
Hasilnya mengagumkan.
Saat foto kekasih mereka dimunculkan, otak para pecinta tersebut bereaksi berbeda. Cinta telah menghidupkan caudate nucleus, pangkal syaraf otak yang penuh saraf penerima dan menghasilkan dopamin, ramuan kimiawi cinta yang telah tersedia dalam tubuh. Dalam dosis tepat, dopamin menciptakan kekuatan, kegembiraan dan fokus. Saat dopamin ini membanjiri tubuh, kita tak akan merasa letih walau harus melek semalaman demi menunggu matahari terbit asalkan bersanding bersama sang terkasih, kita tak akan merasa takut walaupun harus melompati jurang apabila kita tahu hal itu demi berada di sisi sang terkasih. Sesuatu yang di kala normal, kita tak akan mampu melakukannya.
Eros membuat diri kita berani menempuh resiko terbesar yang sering tak dapat diatasi. Dengan kata lain, eros membuat kita gila. Dalam dunia saat ini di mana mayoritas orang kehilangan kemampuan untuk mengambil resiko dan meraih mimpi, kita hanya menemukan eros dalam kisah-kisah fiksi, melalui buku dan film. Tetapi kukatakan satu hal, bahwa eros bukanlah fiksi. Ia nyata dan hadir dalam kisah harian di sekeliling kita.
Isteriku rela meninggalkan kerja dan keluarganya hanya demi untuk tinggal bersamaku. Aku pernah mengkhianati kawan lamaku, mengambil resiko dimusuhi banyak kawan-kawanku lainnya, meruntuhkan apa yang sebelumnya mati-matian berusaha kami bangun, hanya demi dapat berbagi momen memabukkan tak bermasa depan bersama kekasih kawanku tersebut. Kekasih lamaku menempatkan dirinya melindungiku dari amukan kekasih resminya yang mengamuk karena mendapati sang perempuan sedang bercinta denganku di kamar kostnya. Satu-satunya sahabat lelaki yang pernah kumiliki, menghilang setelah aku memilih mengencani seorang gadis yang kami berdua puja dan melukai hati sahabatku tersebut.
Aku akan melakukan apapun. Aku akan mengorbankan apapun. Sebagaimana juga kekasih-kekasihku rela mengorbankan dan kehilangan apapun. Dan memangnya kenapa, seseorang bisa memilih bunuh diri hanya karena urusan jatuh cinta? Mengapa kisah Ophelia berakhir tragis?
Donatella Marazatti, seorang profesor psikiatri di Italia, juga seorang seperti Fisher, yang penasaran mengapa sensasi rasa kala seseorang jatuh cinta dapat demikian dahsyat. Bersama rekan-rekannya, seperti juga yang dilakukan Fisher di New York City, Marazatti melakukan penelitian. Mereka mengukur kadar serotonin dalam darah pada sekian orang yang sedang dimabuk cinta. Serotonin adalah bintang pemancar syaraf dalam tubuh kita yang tanpanya kita akan tak terkendali. Dikaitkan dengan hasil-hasil penelitian para ahli lain yang telah sekian lama meneliti perilaku orang-orang dengan gangguan kejiwaan, Marazatti dan timnya menemukan bahwa ada kesamaan antara mereka yang dimabuk Eros dengan mereka yang menderita gangguan obsesif-kompulsif: keduanya mengalami kondisi ketidakseimbangan serotonin dalam darah.
Kadar serotonin pada para pecinta dan penderita obsesif-kompulsif 40% lebih rendah dari orang-orang normal. Obat-obatan anti-depressant seperti Xanax yang sedianya digunakan pada penderita obsesif-kompulsif sesungguhnya berfungsi untuk menaikkan kadar serotonin dalam darah. Dengan demikian, jelas obat-obatan tersebut dapat juga digunakan untuk menyembuhkan gangguan jiwa akibat jatuh cinta. Maka obat penyembuh mereka yang patah hati juga ternyata tidak terlalu sulit didapat, setidaknya dalam lingkungan sosialku: Xanax.
Kemampuan obat anti-depressant untuk menyembuhkan luka hati terbilang hebat. Ia menumpulkan kemampuan jauh cinta dan mencintai—ia juga bahkan menumpulkan hasrat seksual. Dengan obat ajaib tersebut, apabila dikonsumsi secara teratur, akan mampu membuat sebuah relasi cinta yang menggebu-gebu menjadi hambar dan basi. Eros ternyata begitu lemah pertahanannya di hadapan Xanax. Bukan alkohol seperti yang biasa dikonsumsi para penderita patah hati ternyata. Alkohol hanya akan menyebabkan derita pada lambung dan emosi yang semakin tak terkendali, alias hanya akan membuat penggunanya semakin terpuruk—dan seringkali bertingkah dramatis serta memalukan, tentu saja.
Apabila aku sadar hal tersebut, bahwa mereka yang jatuh cinta, patah hati karena cinta, tak berbeda dengan penderita obsesif-kompulsif alias orang yang dianggap gila, mungkin aku akan memilih Xanax di masa-masa aku terpuruk bulan lalu. Tapi bahkan mungkin pilihan untuk membuka hati dan membiarkan cinta hadir—membiarkan orang lain masuk ke dalam hati, hidup kita, mengaduk-aduk isinya sembarangan, mengubah kebiasaan dan menjungkirbalikkan akal sehat kita, bersedia menerima sakit yang luar biasa dahsyat berulang-ulang—adalah tindakan bodoh.
Orang-orang Kiri itu benar, ide para anarkis untuk mengambil inspirasi revolusioner dari soalan jatuh cinta adalah ide bodoh yang terlalu kental dengan bau borjuasi. CrimethInc. berisi orang-orang psikopat bodoh, sebodoh sang legenda Situationist International, Raoul Vaneigem. Sebodoh kisah Bertold Brecht tentang seorang revolusioner yang memilih untuk berjumpa dengan pujaan hatinya dan meninggalkan barikade di tengah sebuah kota yang sedang terbakar api insureksi.
Karena pada akhirnya, kesimpulannya begitu sederhana: Eros dan gangguan jiwa sulit dibedakan. Kesimpulan final: Jangan bodoh. Jauhi saja.
Celakanya, aku selalu memilih untuk menjadi bodoh.
“But I don’t want to go among mad people,” Alice remarked.
“Oh, you can’t help that,” said the cat, “We’re all mad here. I’m mad. You’re mad.”
“How do you know I’m mad?” said Alice.
“You must be,” said the cat, “Or you wouldn’t have come here.”
—Lewis Carrol, Alice’s Adventures in Wonderland.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar