Jumat, 16 Januari 2015

Tentang Luka Sejarah 1965

Joshua Oppenheimer, adalah seorang pembuat film yang namanya mendadak menanjak di Indonesia. Sebentar, rasanya kurang tepat apabila dikatakan Indonesia, jadi mungkin lebih tepat dibilang: sebagian orang di Indonesia. Ia kini mendapat banyak sorotan. Lagi.
Apabila dulu akibat film besutannya yaitu Jagal atau The Act of Killing, kini karena filmnya, yang masih mengambil latar belakang yang sama, yaitu Senyap. Tapi agak berbeda dengan film yang disebut pertama yang dulu banyak meraup puja-puji, terutama di awal-awal penayangannya, barulah suara sumbang hadir kemudian, kini suara sumbang sudah hadir sejak mula.
Aku sebenarnya tidak pernah peduli dengan soal respon publik terhadap satu film karena kebanyakan hanya berkutat di seputar soalan suka dan tidak suka, soal selera. Begitu kita berbicara soal selera, bukankah jadinya soal bahasannya menjadi amat personal dan rasanya tak perlu diperdebatkan?
Perdebatan yang ada seperti menelisik mengapa aku tidak suka masakan Padang sementara isteriku suka sekali masakan tersebut. Isteriku bisa mengurai mengapa pencampuran banyak bumbu dan kepekatan rasa masakannya justru yang membuat masakan Padang menjadi lezat; sementara bagiku justru itulah kelemahan masakan Padang, karena terlalu banyak bumbu yang pekat sehingga mengaburkan karakter rasa tiap-tiap bahan mentahnya. Aku lebih suka yang relatif hambar seperti masakan Jepang, yang kebanyakan justru memang menguatkan karakter tiap bahan mentah.
Apa yang keliru dari kami berdua? Ada?
Bagi kami tidak ada sama sekali. Perbedaan kami selesai di tahap bagaimana kami memang memiliki seleranya sendiri. Aku bisa membiarkan isteriku menikmati masakan Padang favoritnya dan aku bisa menikmati masakan favoritku. Aku bisa mengantarnya membeli masakan Padang dan begitu juga sebaliknya.
Tapi kami juga bisa membahas panjang lebar mengenai mana masakan Padang yang enak berdasar karakter yang memang diangkat oleh masakan Padang dan Jepang. Seperti misal bagaimana masakan Padang yang ini enak dan yang itu tidak, seberapa dekat satu restoran dengan karakter asli Padang, sehingga bisa dinilai mana masakan Padang yang baik dan mana yang tidak. Aku tidak suka banyak bumbu yang meniadakan rasa bahan utama, tapi isteriku juga mengajariku untuk memahami bahwa kalau tidak begitu maka bukan masakan Padang namanya. Begitu juga dengan masakan Jepang. Masakan Jepang yang rasanya mirip semur tentu jadi bukan masakan Jepang yang baik. Itu bisa kami bahas jauh dan mendalam berdasar karakteristik tiap makanan.
Pendeknya, kami berdua bisa membedakan mana penilaian suka / tidak suka, mana penilaian bagus / tidak bagus. Yang pertama berdasarkan masalah selera personal dan karenanya tidak bisa diperdebatkan, sementara yang kedua bisa diukur karena dapat ditelisik dengan bersanding pada poin-poin yang terukur berdasar karakter masing-masingnya.
Kini kembali pada soal film-film besutan Joshua, aku melihat banyak kritikus—yang uniknya hadir dari kubu kaum yang mengaku Kiri, progresif, radikal—justru yang tidak mampu membedakan apa yang kupaparkan di atas. Mereka mencampuradukkan selera personal, dalam soal ini keinginan-keinginannya sendiri, dengan soal bagaimana sebuah film dapat dinilai baik tidaknya. Kritik terakhir yang kuterima malah sudah melangkah lebih jauh lagi, yakni mengajukan dugaan bahwa film karya Joshua sebagai film pro-Orde Baru.
Kritik umum dari kubu tersebut, selain kritik terakhir yang menurutku mulai keterlaluan dan lantas kuanggap sampah, seperti juga pernah kudiskusikan bersama seorang kawanku, selalu berkutat pada soalan bagaimana Joshua tidak memberi sorotan yang memadai pada soalan keterkaitan militer, CIA beserta kepelikan konspirasi papan atas. Tidak lebih.
Sepanjang pemahamanku, selagi sang pembuat film masih hidup, bukankah sebaiknya yang dilakukan terlebih dulu sebelum memublikasikan sebuah tulisan, adalah klarifikasi.
Aku pernah menulis singkat mengenai pertanyaan yang mengganjal dan tak enak berdasar pendapatku setelah menonton Jagal, yaitu tentang apakah sesungguhnya memang kita memiliki sisi gelap, yang hanya menunggu momen yang tepat untuk hadir dan menjelmakan diri kita menjadi monster. Salah seorang kawanku memberikan tulisanku tersebut pada Joshua, memertanyakan pendapatnya mengenai hal yang kuajukan tersebut. Joshua merespon, bahwa itu adalah salah satu hal yang ia juga sadari saat ia menyoroti para pelaku. Aku heran, kalau aku saja yang bukan siapa-siapa bisa berkomunikasi dengan Joshua, mengapa tidak mereka para kritikus yang namanya sudah naik daun di kalangan aktivis? Sepertinya ini soalan kemauan atau tidaknya para kritikus untuk melakukan klarifikasi dengan Joshua.
Selain klarifikasi, semestinya para kritikus juga menyadari bahwa ada dua hal yang seharusnya tak luput dari penilaian. Pertama, pemahaman mengenai medium yang dijadikan subyek, dalam soal ini adalah film; kedua, pemahaman soal tema yang diangkat itu sendiri, yaitu soal tragedi 1965.
Mungkin ada baiknya membandingkan film besutan Joshua tersebut dengan film Apocalypse Now besutan Coppola tahun 1979. Film tersebut diadaptasi dari novel Heart of Darkness karya Joseph Conrad dan berhasil menempatkan filmnya sebagai salah satu film perang terbaik sepanjang masa. Mengapa aku membandingkan karya Joshua dengan karya Coppola? Sederhana, karena seturut kritik yang dilancarkan di mana kedua pihak sama-sama berbicara mengenai sebuah tragedi dan keduanya berjarak pada topik politik. Coppola sama sekali tidak membahas mengenai bagaimana Amerika Serikat dengan sengaja membenarkan serta meraih dukungan publik untuk melancarkan perang Vietnam dengan insiden Teluk Tonkin. Coppola membahas mengenai satu sisi gelap manusia, bukan politik. Coppola mengajukan pertanyaan, bukan memaparkan fakta. Lalu perhatikan film karya Joshua. Joshua memberi fokus pada paparan pelaku pembantaian, tidak pada politik. Soalan politik yang diangkat hanya sepintas lalu memang, karena menyertakan barisan Pemuda Pancasila dalam alur filmnya. Joshua juga memerlihatkan bahwa ternyata para pelaku bukan saja dari kalangan militer atau mereka yang mendominasi persenjataan, melainkan dari kalangan orang-orang biasa.
Pertanyaannya kemudian adalah: apakah lantas kedua film tersebut jadi film yang buruk? Di batas apa kita memakai takaran baik dan buruk pada medium film tersebut? Apakah hanya karena keduanya tidak memberi fokus pada politik maka keduanya secara otomatis jadi buruk? Apakah semua karya harus mengangkat muatan politis?
Seorang kawan menyanggah pendapatku dengan mengatakan bahwa kasus Vietnam sudah selesai, sementara kasus 1965 belum. Mungkin aku yang buta sejarah, tetapi sepanjang pengetahuanku, Amerika Serikat baru menyelesaikan kepelikan kasus ini di tahun 2013 lalu dengan membayar 22 milyar dolar pada para veteran, keluarga korban dan klaim-klaim yang berkaitan dengan perang tersebut. Itu saja belum dengan melakukan pengakuan dan rekonsiliasi dengan para keluarga korban sipil di Vietnam. Jadi bagaimana aku bisa mengatakan bahwa kasus Vietnam sudah selesai? Sama dengan Indonesia, kasus 1965 juga belum kunjung selesai.
Jadi pertanyaannya tetap: apakah dengan begitu lantas Coppola dan Joshua sama-sama bisa dianggap memroduksi film yang tak bermutu hanya karena tak membahas soalan politik?
Kritik pertama yang dilontarkan para kritikus film besutan Joshua dengan demikian jadi mudah dianggap lalu saja, karena toh mereka mengajukan kritik berdasar selera tema favorit mereka sendiri, yang semestinya urusan personal. Kalian suka film yang memberi fokus pada urusan politik? Silahkan. Tapi jangan harap semua orang memiliki kesukaan yang sama.
Itu semua baru apabila kita membahas fokus yang dipilih sang pembesut film, kita harus membahas lebih jauh mengenai medium yang dipilih, yaitu film.
Film, seperti medium lainnya, memiliki keunggulan dan keterbatasannya sendiri. Ambil contoh trilogi Lord of The Rings yang diangkat dari sekian buku tebal—amat tebal malah—apakah berhasil meliputi semua kisah dalam bukunya ke dalam film yang durasinya amat terbatas? Setahuku sama sekali tidak. Sang sutradara harus memilih dan memilah mana yang harus dimasukkan ke dalam film, mana yang terpaksa dihilangkan atau hanya diberi fokus sekedarnya saja.
Mereka yang paham mengenai film pasti paham bahwa tidak mungkin memasukkan seluruh topik yang ada dari tema umum yang dipilih ke dalam satu medium saja.
Untuk berbicara mengenai tragedi 1965 sebagai tema utama, kita bisa mendapati poin-poin yang ada: (1) Sejarah PKI, karena tanpa pemahaman mengenai siapa dan bagaimana sejarah PKI maka publik tak akan dapat berpaling dari ide tunggal hasil kampanye Nugroho Notosusanto; (2) Pemahaman mengenai sejarah Indonesia secara umum dan keterkaitannya dengan sejarah global dinamika pasca Perang Dunia II, karena dengannya kita akan dapat memahami konteks anti-komunisme yang hadir, penetrasi CIA dan kaitannya dengan sejarah Orde Baru; (3) Dinamika sejarah di tengah kekusutan Revolusi Kemerdekaan Indonesia yang membuat kita akan memahami konflik yang tumbuh antara kubu muslim dan kaum komunis; (4) Wawancara dengan korban yang masih hidup; (5) Wawancara dengan pelaku, karena dua poin terakhir dapat meluaskan wawasan psikologis mengenai pemahaman yang lebih mendalam tentang mengapa tragedi bisa terjadi dan meluas sedemikian cepat. Itu saja baru sebagian saja yang kupaparkan, poin-poin lainnya yang masih berderet-deret dan tak bisa begitu saja disederhanakan jadi hanya sekedar urusan konflik politik papan atas.
Pertanyaanku kini: bisakah kita memberi fokus pada seluruh poin-poin yang kusebutkan di atas—itupun masih banyak yang tak kusebutkan—hanya dalam satu film saja? Lebih parahnya lagi, para kritikus ini hanya menginginkan satu topik—yang tentu saja topik yang mereka inginkan. Hanya satu dan harus ada dalam setiap bahasan.
Coba kita bandingkan dengan medium lain, yaitu buku, karena buku dapat memuat pendalaman tema lebih baik dibandingkan film.
Perhatikan buku karya Ruth McVey yang membahas mengenai sejarah PKI hingga pemberontakan mereka melawan kekuasaan kolonial di tahun 1926. Itu saja sudah setebal nyaris 5 centimeter atau setebal buku pertama dari saga Lord of The Rings. Lalu lihat buku-buku lain yang membahas soal poin-poin yang kupaparkan di atas. Setebal apa nanti buku yang ada kalau semua dirangkum di satu buku? Aku yakin tingginya saja akan lebih dari satu meter apabila buku-buku dengan berbagai fokus dalam satu topik tersebut ditumpuk menjadi satu. Itu belum apabila aku memasukkan juga buku-buku mengenai apa itu komunisme.
Mau setinggi apa ketebalannya? Dan kalau sudah sedemikian tebal yang tak terkira itu, siapa yang mau baca?
Kini kembali pada medium film. Dengan paparan singkatku di atas, mau berapa jam durasi film yang bisa meliputi semua aspek? Kalau dibuat film serial televisi, mau berapa episode? Mau berapa musim? Berapa dana yang tersedia untuk menyusun serial tersebut?
Kritik selanjutnya juga dapat dianggap seperti kentut saja, karena mereka jelas-jelas buta medium.
Tapi ternyata mereka punya poin kritik lain, para kritikus tersebut bersikukuh bahwa film Joshua dapat menghambat proses rekonsiliasi dan terbukanya tragedi 1965 dengan baik oleh pemerintah Indonesia.
Soal ini, sungguh, kecemasan tersebut malah lebih mirip paranoia kubu para kritikus tersebut. Kapitalisme yang konon sedemikian dimusuhi oleh kubu kritikus itu saja mampu menyerap apapun dan menggunakannya untuk memerkuat diri, betapa menyedihkan kubu kritikus ini jadinya. Kemiskinan makin menyeruak di mana kemiskinan hidup kubu tersebut hanya semakin jelas hari demi hari seturut komentar nan intelek yang mereka sering lontarkan. Dulu kupikir mereka ini, kubu radikal, adalah mereka yang benar-benar progresif. Ternyata malah sebaliknya, mereka adalah orang-orang paling konservatif yang pernah kutemui.
Perhatikan, berapa film yang telah diproduksi dan beredar dengan mengangkat topik tragedi 1965, baik dari pihak pro-pelaku maupun yang pro-korban, yang tentu harus memasukkan juga film terpopuler Pengkhianatan G-30-S PKI yang menjadi tontonan wajib kala kita dulu duduk di Sekolah Dasar? Shadow Play? Ada lagi? Silakan paparkan. Lantas pertanyakan hal selanjutnya, mana saja film yang berhasil menarik perhatian publik?
Setahuku hanya film wajib itu dan film besutan Joshua saja. Sementara Shadow Play hanya laris di kalangan aktivis, yang tentu amat sangat dikit persentasenya kalau kita bicara rating. Dan di alam demokrasi, bukankah apapun diukur berdasar rating? Rekonsiliasi juga akan tercapai apabila mayoritas memutuskan untuk bersedia melakukan rekonsiliasi, itu mengapa grup-grup yang mengangkat isu-isu spesifik selalu memiliki program kampanye, karena mereka sadar betul akan pentingnya rating. Hal ini semestinya sudah dipahami dengan baik oleh para kritikus tersebut, yang mana sepanjang pengetahuanku, di waktu senggang mereka, mereka selalu menggembar-gemborkan pentingnya demokrasi.
Lagipula saat kita berbicara mengenai rekonsiliasi, bukankah kita seharusnya tidak sekedar menuntut pihak yang kini dituding bersalah untuk mengakui kesalahan, di mana para pelaku bisa dihukum seperti kasus Nuremberg, melainkan juga menyadari bahwa potensi kejadian serupa bisa terulang saat kita tak sadar bahwa tiap-tiap diri kita bisa berubah menjadi monster saat ada di situasi yang tepat? Ataukah kita terlalu suci untuk mengakui adanya sisi gelap ini dalam diri kita, sehingga film besutan Joshua sedemikian tidak bergunanya untuk mendorong proses rekonsiliasi?
Apa arti rekonsiliasi bagi mereka? Penghukuman pihak yang dianggap bersalah? Hanya itu? Tanpa melihat bagaimana tragedi serupa jangan sampai terulang dan apa saja hal yang berpotensi dapat membuatnya terulang?
Rekonsiliasi, bagiku bukan balas dendam. Sama sekali bukan. Balas dendam hanya akan memerpanjang konflik yang tak kunjung selesai dan darah yang tertumpah. Tapi rekonsiliasi juga bukan sekedar memaafkan, apabila memang memaafkan itu adalah hal sulit, melainkan menerima, membuka diri. Karena apa yang lebih penting adalah berbicara mengenai bagaimana cara agar tragedi tersebut tidak terulang.
Para pelaku kini telah renta dimakan usia, apakah engkau ingin menghukum mereka satu persatu?
Aku tidak.
Pengakuan bersalah itu penting, meminta maaf juga penting, pembersihan nama baik dan status kewarganegaraan korban tragedi 65 juga penting, tapi aku berkata tidak pada balas dendam. Tidak penghukuman yang hanya dilandaskan pada pemenuhan hasrat pembalasan.
Dan hanya karena aku berkata aku tidak, jangan katakan aku tidak kenal dengan para korban dari tragedi 1965 yang masih hidup. Sekian tahun aku berkenalan dan berbagi kisah dengan mereka, terutama saat aku masih di hidup di Bandung. Jangan katakan aku tidak kenal dengan para tentara yang anti-komunis. Pamanku sendiri, salah satu dari saudaraku yang kukenal sebagai orang-orang baik, adalah salah satu personel militer yang dikirim untuk melakukan pembersihan sisa-sisa PKI di Blitar. Aku merasa beruntung mendengar berbagai kisah dari tuturan tangan pertama dan merasa amat bersyukur bisa mendengarnya dari berbagai sudut pandang yang menghindarkanku dari sikap penghakiman, merasa diri paling benar, merasa satu pihak absolut benar dan pihak lain absolut salah.
Mungkin sebagian kritikus juga mengalami keberuntungan untuk mendengar dari dua pihak, tapi jangan samakan aku dengan barisan para kritikus, yang menghabiskan waktu dengan mengritisi dan menggapai popularitas diri. Karena bagiku, apabila engkau memang benar-benar menginginkan rekonsiliasi, bukankah lebih baik apabila engkau memanfaatkan medium apapun yang ada, memanfaatkannya untuk menggapai tujuanmu. Diskusi terbuka antara pihak yang bertentangan seputar kasus 1965, yang diadakan di markas Pemuda Pancasila, belum lama ini saja digelar dan membahas mengenai film Senyap. Apakah pernah hal tersebut terjadi sebelumnya di Indonesia? Bukankah karenanya jelas, bahwa medium apapun bisa dimanfaatkan apabila kita jeli dan mau belajar menahan diri untuk tidak terlalu cepat melontarkan kritik?
Aku tidak membela Joshua di sini. Aku juga tidak melarang orang untuk memiliki pendapatnya sendiri, tetapi jujur, para kritikus dari kubu kritikus yang mana kritiknya seragam ini makin hari makin membuatku muak dengan koar-koarnya. Biarkan Joshua membela diri apabila memang ia bersedia. Kalaupun tidak, itu juga bukan urusanku. Karena poinku adalah, tidak bisakah kita memanfaatkan medium yang ada untuk kepentingan kita, dibanding hanya mengritisi tanpa klarifikasi? Kalau tidak suka satu film, bisakah kau hadirkan alternatif yang menurutmu lebih baik? Tanpa ajuan alternatif, engkau hanya mirip anak kecil yang merengek-rengek rewel saat keinginannya tidak tercapai. Mungkin para kritikus yang kekanak-kanakkan ini juga hanya perlu dijewer setiap kali rewel.
Lalu, tidak bisa jugakah kita memberi kebebasan memilih topik pada tiap-tiap individu yang ingin berkarya? Ataukah kita sudah ketularan virus totalitarianisme di mana karya yang boleh beredar hanyalah karya yang memenuhi hasrat pihak dominan? Virus seperti itu tidak hanya hadir kala sebuah kubu menjadi pihak dominan, tetapi deteksi dini virus seperti itu hanya memerlihatkan bahwa virus itu sesungguhnya sudah hadir di banyak kubu yang kini bukan dominan, bahkan marginal. Dalam kondisi seperti ini, bukankah sesungguhnya penting jadinya untuk memahami bahwa kita semua memiliki sisi gelap? Karena nyaris dari kita semua mengidap virus yang sama tetapi sayangnya hanya sebagian yang bisa mengendalikannya. Atau minimal menerima dan berusaha memahaminya.
Terakhir, Joshua Oppenheimer bukanlah warga negara Indonesia. Bukan ia seharusnya yang bertanggung jawab untuk mengurusi luka sejarah di Indonesia, melainkan kita yang memiliki KTP Indonesia dan merasa bahwa inilah tanah tempat kita lahir dan hidup. Kalau Joshua mendedikasikan waktu, energi serta biaya sedemikian besar dan lama untuk membuka sebagian dari sejarah Indonesia, bukankah seharusnya yang kita lakukan adalah bercermin dan bertanya: apa yang sudah kita lakukan?
Sekedar mencoblos pada Pemilu? Atau sekedar mengritik melalui media sosial?
Akhir kata, bagiku semua koar-koar para kritikus ini jadi tidak valid dan layak dianggap gonggongan anjing pudel rumahan belaka. Tak lebih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar