Senin, 03 Februari 2014

Tentang Punk dan Nasionalisme


Surat kepada kawan,

Maaf aku terkesan membuang waktu yang cukup banyak sebelum bisa menjawab surat elektronik mu yang terakhir. Bukan karena tak ada akses internet, tapi memang sedang malas. Setidaknya, aku harus memiliki balansi yang sempurna sebelum menulis surat ini. Semata-mata karena alkohol dan ganja, belakangan sering menemani malam-malam ku. Itu tentu saja berarti bahwa otak ku sedang berada di zona privat yang membuatku enggan menanggapi surat mu.

Namun pertanyaan mu sukses memantik dorongan untuk menjawabnya. Kau selalu tahu cara yang tepat untuk memprovokasi sisi penasaran dalam diriku yang berupaya ku bekap agar tak ke mana-mana.


Untuk itu, aku akan memulai dengan mengatakan bahwa itu tak salah. Tak ada yang salah ketika seorang punk adalah juga seorang nasionalis. Benar-benar tak salah. Pilihan itu bukanlah sesuatu yang menyimpang.

Nasionalisme, atau cinta tanah air bukanlah aib. Meskipun itu terjadi pada mereka yang mengaku dirinya punk. Semenjak injeksi tentang ideologi ini telah dimulai ketika kau bahkan belum layak berada di bangku sekolah dasar. Dari umur yang sangat muda, kita telah dipertontonkan dan tak jarang dilibatkan dalam ritual-ritual nasionalisme. Proses meng-install ini dilakukan hampir begitu sempurna hingga hanya dalam kasus-kasus tertentu yang jumlahnya tidak seberapa, dapat dijumpai mereka yang berhasil menghancurleburkan konstruksi semangat pemujaan tersebut. Jadi jika kau berjumpa dengan seorang punk yang dengan mesra menciumi nasionalisme, biarkanlah. Mengganggunya akan membuat dirimu tampak seperti mengail ikan di kolam renang.

Di Indonesia, yang sejarahnya dikencingi oleh tiap generasi -seperti juga yang terjadi di banyak tempat lain, menjadi ahistoris adalah cacat lahir setiap orang. Sisi liar kita telah ditundukkan dari dalam pikiran sehingga bertumbuh sebagai seorang budak. Dan sebagai budak, tentu saja kita memiliki level kepatuhan terhadap sesuatu yang menguasai dan empunya kuasa. Level kepatuhan ini juga berbeda kadarnya di tiap-tiap orang. Kadar ini di kemudian hari yang akan menentukan seberapa besar kemungkinan lahirnya semangat antagonis berupa pembangkangan.

Nah, level kepatuhan itu juga tak stabil. Sebaliknya ia dinamis dan bergerak naik turun seiring waktu pertumbuhan psikologis seseorang. Ada masa di mana ia berkurang dan ada tempo di mana ia justru bertambah. Peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hidup seseorang di masa lalu sangat mempengaruhi level kepatuhan. Semakin objektif iven-iven psikologis tersebut, maka semakin merekah semangat nasionalisme seseorang. Sebaliknya jika benturan-benturan tersebut berkarakter subjektif, maka akan ada degradasi level nasionalisme. Hanya ada segelintir kecil kasus di mana seseorang benar-benar berhasil menggerus nasionalisme di dalam dirinya hingga habis. Sangat kecil.

Tapi jangan kau tanya aku tentang segelintir kecil orang-orang tersebut. Aku tak ingin bercerita apapun tentang mereka. Bukan karena aku tak tahu, tapi aku telah muak menceritakan kembali tentang mereka. Sudah cukup. Aku akan menjelaskan kepadamu yang mayoritas saja. Sebab beginilah metode menakar di dalam kehidupan sosial hari ini yang mereka namakan: demokrasi

Itu mengapa bukanlah sesuatu yang tak pantas membuat kita heran ketika menemukan seorang punk terlibat begitu semangat dengan euforia 17 Agustus -yang tak jarang dihelat di puncak gunung, di tepi danau, di pantai, atau bahkan mungkin di lingkungannya sendiri. Itu biasa.

Kau tahu mengapa?

Karena memang itulah kultur mayoritas di skena-skena punk di Indonesia. Sebagian besar adalah mereka yang berhasil menghidupi sekaligus dua kutub yang beroposisi secara esensi. Sebuah campuran aneh yang uniknya eksis dalam saat yang bersamaan pada satu persona. Hebat bukan?

Ini bukan tanpa sebab. Karena memang hal ini diwariskan. Seperti yang sudah ku bilang di atas, ideologi ini direproduksi dengan sempurna di dalam lingkup skena-skena punk itu sendiri. Ia dihidupkan dalam praktek dan di ajarkan oleh generasi yang satu kepada generasi berikut. Direplikasi dan terus menerus diperbaharui dengan argumen-argumen objektif yang bertujuan agar jangan sampai terlihat borok-borok zaman yang melekat di patung nasionalisme tersebut. Tentu saja hal ini dilakukan sembari memastikan bahwa level kepatuhan seseorang tetap berada di zona aman.

Kalau kau selidiki baik-baik, akan dengan mudah kau menemukan lirik lagu-lagu punk yang kental dengan semangat nasionalisme. Hal itu bukan dilakukan tanpa sadar. Karena tentu saja sebuah lagu bukan hasil dari ketidaksengajaan atau kecelakaan waktu. Sebuah lagu merupakan ekstraksi dari isi kepala penulis dan komposer lagu tersebut. Setiap kata telah melalui seleksi ketat dalam otak melalui proses kognitif sebelum kemudian terangkai. Karena itu lagu bukan produk sim sala bim. Setiap lagu merupakan produk historis yang memberi penjelasan tentang si penulisnya.

Saya teringat sebuah kalimat sederhana dari guru statistik semasa kuliah dahulu. "Tak peduli apa cara yang kau gunakan, jika tahu prosesnya, kau tentu akan mendapatkan hasil yang tepat." Aku tak terlalu suka dengan pelajaran statistik. Tapi aku tak menyangkal bahwa kalimat itu masih terasa nyantol di telinga.

Di skena-skena punk, hadirnya perilaku-perilaku yang melanggengkan semangat nasionalisme tersebut dianggap lumrah dan sangat jarang dipertanyakan. Sebabnya, tak ada keberanian untuk memeriksa kembali esensi dari setiap tindak-tanduk pribadi. Ketidakberanian ini berkait erat dengan ketakutan untuk berhadapan dengan ketidakmungkinan dan tragedi yang akan terjadi di kemudian hari. Seperti layaknya peramal yang bisa menebak masa depan, banyak punk yang enggan untuk mempertaruhkan hidup dan kehidupannya yang telah berada di zona nyaman dengan sesuatu yang masih belum terprediksi. Itu seperti berjudi. Dan untungnya, banyak punk bukanlah penjudi.

Untuk berjudi, diperlukan dua hal: tahu dan berani. Seorang penjudi yang baik adalah seseorang yang tahu dengan benar apa yang sedang dihadapinya dan konsekuensi yang bakal menjadi ganjaran. Di saat yang bersamaan ia juga mesti berani untuk mempertaruhkan semua yang ia miliki. Kebanyakan punk di Indonesia tak punya itu. Mereka tak tahu dan tak berani

Sebab untuk tahu sesuatu, kamu mesti berani melakukan pengorbanan. Mengorbankan waktu, uang, relasi sosial dan bahkan cinta. Untuk mendapatkan pengetahuan, seorang punk mesti menantang diri sekaligus menerima tragedi dengan tangan terbuka. Agar seseorang berani melakukan itu semua, ia mesti tahu dengan dirinya, lingkungan sosial dan alam di sekitar dirinya. Dia mesti mengenali apa kebutuhan, kemampuan dan batas-batas imajiner lain yang akan dilampaui. Tanpa itu semua, seperti menuju medan pertempuran tanpa persiapan dan senjata.

Tahu dan berani adalah proses yang berjalan beriringan dan mesti dihentak bersamaan geraknya. Jika hanya menyalakan salah satu, imbalansi yang akan menjadi hasil. Memiliki pengetahuan tetapi penakut atau kemudian menjadi pemberani tanpa pengetahuan. Jika orang dengan ketidakseimbangan seperti itu menghadapi perang, tentu saja ia berakhir menyedihkan. Dan itulah yang kau lihat.

Mereka yang kau lihat adalah punk yang eksis bertahun-tahun dan menjadi legenda (seperti SID dan Marjinal, misal) justru adalah orang-orang dari kedua tipe yang ku sebutkan sebelumnya. Bagaimana akan dengan mudah kau temukan orang-orang bermulut besar dengan heroik mengumandangkan semangat ke-Indonesia-annya di skena-skena punk. Juga mereka yang hanya mampu menggerutu sembari memandangi kafilah nasionalistik itu berlalu. Dua tipe yang akan terus hadir karena itu adalah kutukan abadi. Seperti abadinya kemungkinan bahwa celah sekecil apapun akan membuka jalan bagi domba-domba yang berevolusi menjadi serigala dan berlari meninggalkan kawanan tersebut.

Tapi mesti lagi ku ulang, aku tak ingin menceritakan tentang para serigala tersebut. Biarlah cerita-cerita mereka hidup dalam percakapan-percakapan rahasia dan romantik antar dua orang. Jangan lagi kisah-kisah itu dibawa di panggung pertunjukan, seperti bagaimana punk hari ini.

Jadi, janganlah lagi kau membuang energi untuk bertanya soal itu, kepada ku tentunya. Tak ada lagi energi yang cukup dalam diriku untuk hal-hal seperti ini. Membiarkan scenester-scenester punk melilit leher sendiri dengan rantai perbudakan, adalah jalan yang terbaik. Sebagaimana juga banyak punk itu sendiri yang menyebarkan wabah nasionalisme dan bagaimana hal ini sebagai penyakit dalam diri yang tidak perlu diobati. Agar nanti kau tak akan terkejut ketika misalnya mendapati punk yang sedang menghormat kepada bendera merah putih. Punk yang dengan khidmat menyanyikan lagu Indonesia Raya, atau bahkan menciptakan lagu tentang betapa berbahagia dan bangganya mereka menjadi bangsa Indonesia. Itu sama seperti menemukan seseorang dengan dandanan punk lengkap dengan logo swastika di salah satu bagian jaket atau jeans-nya. Tak usah di tegur karena itu hanya akan membuat mu terlihat sebagai polisi punk.

Setiap orang di skena-skena punk memiliki kebebasan untuk berekspresi. Entah itu ekspresi seorang budak atau menjadi seorang penurut dengan rasa cinta tanah air yang hanya bisa disaingi militan-militan para militer.

Biarkan saja punk di Indonesia dengan semangat cinta tanah airnya. Itu adalah permata imitasi yang mereka kenakan agar bisa diterima sebagai bagian dari masyarakat hipokrit hari ini. Itu bukan sebuah kesalahan. Tak ada yang memiliki hak untuk mengatakan bahwa perjuangan punk agar diakui keberadaannya di tengah-tengah warga negara yang lain, bukanlah sesuatu yang adalah kekeliruan. Tidak. Itu tidak keliru.

Karena punk nasionalis adalah wajah mayoritas skena-skena di Indonesia. Dan kau, serta beberapa orang lain yang tak ingin ku ceritakan, merupakan minoritas tak punya hak untuk komplain atau protes. Sebab menjadi minoritas di Indonesia dalam formasi kelompok apapun, termasuk punk itu sendiri, berarti membuatmu kehilangan hak untuk mengutarakan pendapat. Punk di Indonesia adalah mereka yang memiliki kecanduan dengan persoalan kuantitas. Terobsesi dengan jumlah atau kawanan yang besar. Ketergandungan yang menjelaskan kenapa punk bermental gerombolan karena tak memiliki keberanian yang cukup untuk berdiri di atas kakinya sendiri. Itu mengapa aku menyarankan kau untuk merayakan posisi minoritas mu dan acuhkan saja mereka yang berada di seberang. Lalu biarkan aroma pesta barbekyu-mu, menyebar dan mengundang rasa penasaran dari satu dua orang untuk datang mencicipi.

Aku mungkin tak akan menghadiri pesta mu. Aku sendiri, telah mendedikasikan diri sepenuhnya untuk mengejar tren dan menenggelamkan diri di dalamnya. Menjadi peselancar di dunia yang penuh histeria temporer dan delusi-delusi yang selalu membuatku orgasme saat membantingku dengan keras ke lantai kenyataan. Aku membiarkan tipuan-tipuan mencekik leher kebebasanku agar semakin sedikit oksigen yang bisa dihirup.



Kini, aku adalah hipster.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar