Perempuan sipit ini berbincang dan
terus berbincang melalui Skype. Topik awal yang bertukar pandangan seputar
keinginanku untuk menonton Morrissey pada akhirnya hanya memakan waktu sekitar
lima belas menit saja; topik berikutnya soal cinta yang biasanya menguras emosi
dan berujung pada rasa pilu justru lebih banyak dilewati dengan tawa. Tanpa
disadari kami beralih pada satu topik khusus yang saat kulirik arlojiku, kami
ternyata telah melewatkan nyaris setengah malam: mengenai relasi spesial
manusia terhadap teknologi.
Charles Darwin, dua abad lampau,
menyatakan bahwa berdasar penelitiannya sekian lama pada runutan sejarah
kehidupan di alam ini, ia menemukan bahwa hanya makhluk yang mampu
beradaptasilah yang pada akhirnya akan keluar sebagai ia yang bertahan hidup.
Tidak seperti anggapan umum, yang menerjemahkan teori evolusioner Darwin
sebagai ia yang kuat yang akan menang. Anggapan itu keliru, Darwin berkata,
bukan ia yang kuat melainkan ia yang adaptif. Dan kini kita hidup di era di
mana teknologi sebagai sebuah kesatuan sistem yang demikian kompleks, bukan
lagi teknologi yang dapat diterjemahkan sebagai sekedar alat. Teknologi telah
menentukan alur hidup manusia, bukan sebaliknya—lagi-lagi aku harus
berseberangan dengan anggapan umum—yang berarti apabila kita menerapkan teori
evolusioner scara sederhana, maka hanya yang adaptif terhadap percepatan
teknologilah yang akan berhasil bertahan hidup.
Theodore Kaczynski, seorang
profesor matematika, memperingatkan akan hadirnya konsekwensi buruk atas
kemelekatan manusia pada teknologi. Demikian juga Bill Joy, seorang programmer
komputer terpandang; atau Martin Rees, seorang astronom terkemuka Britania
Raya. Atau Freud dan Hokheimer. Bahkan untuk lebih mudah mengidentifikasi dan
melengkapi jajaran para skeptis, kusebutkan satu orang yang tentu siapapun
kenal: Albert Einstein. Di negara-negara industrial, di mana masyarakatnya
telah berhadapan dengan keras dengan teknologi, para psikiater mendeteksi
adanya sebuah ‘penyakit’ gaya baru yang berkembang seiring dengan kemelekatan
manusia dengan teknologi: A.D.D.
Amat disayangkan apabila di
Indonesia ini nyaris tak ada yang menyoroti hal tersebut secara khusus, justru
di negeri di mana ide-ide dari luar hadir tanpa landasan material yang kuat, di
mana produk-produk material hadir tanpa landasan ide sama sekali. Mungkin
belum. Mungkin generasi anak-anak kita nanti yang akan mulai melihat
permasalahan ini, karena generasi merekalah yang semenjak membuka matanya
pertama kali di dunia, apa yang mereka dapati adalah relasi mesra dengan
teknologi. Tapi kegelisahan itu sesungguhnya mulai hadir, sebagaimana yang
dialami oleh seorang jurnalis Tempo yang pernah berbincang denganku beberapa
saat lalu, beberapa orangtua mulai khawatir. Apabila si kecil mengganti-ganti
saluran televisi padahal di saat yang sama ia sedang menonton film, hal
tersebut dapat dideteksi sebagai tanda awal Attention
Deficit Disorder: ketidakmampuan untuk memberi fokus pada satu hal dengan
cukup lama. Epidemi terkini dari abad digital selain menurunnya kemampuan literer
yang bersahut-sahutan dengan menipisnya koleksi perbendaharaan kata.
Tapi sebentar, bagaimana apabila
justru A.D.D. bukanlah ‘penyakit’ melainkan sebuah kemampuan beradaptasi?
Bagaimana apabila kenyataan tersebut justru sebuah mekanisme pertahanan diri di
dunia di mana media korporat dan agen-agen pemasarannya selalu berusaha
memrogram diri kita kemanapun kita melayangkan pandangan? Di sini billboard
iklan, di sana brand korporat, di sini koran, di sana artikel
online. ‘Penyakit’ inipun dideteksi hadir dan berkembang di akhir dekade
’90-an, setelah majalah-majalah bisnis komputer semuanya mendeklarasikan bahwa
kita telah memasuki sebuah “area ekonomi kini berdasar pada perhatian (attention),”
di mana komoditi dipasarkan berdasar “gerak bola mata”. Mereka menggunakan
setiap detail data psikologi dan neurologi diri manusia yang mereka punya untuk
membuat semua tampilan pemasaran mereka menarik perhatian, menjebak daya ingat,
dan semoga juga uang kita.
Jadi mungkin kemampuan untuk tidak
memperhatikan—untuk melewatkan pandangan sepintas saja, memikirkan hal lain
di saat kita diminta untuk menaruh fokus, terus bergerak dan mudah
melupakan—justru adalah sebuah kemampuan yang menakjubkan dari tubuh manusia.
Lagipula mengapa obat resep Ritalin dalam catatan resmi kedokteran telah
meningkat 4000% dalam 15 tahun terakhir? Itupun hanya yang tercatat. Apabila
anak-anak tak mau mengonsumsi iklan dengan sukarela, maka para psikolog
pengembang kepribadian, yang mana kita semua tahu untuk siapa mereka
sesungguhnya bekerja, akan menyarankan penggunaan obat-obatan.
Perempuan ini terus menerus merokok
saat kami berbincang soal teknologi dan A.D.D. padahal dalam topik-topik
perbincangan sebelumnya ia hanya menghisap rokoknya satu batang. Gelisah?
Entahlah. Tapi yang aku tahu, semenjak Agustus lalu, perubahan yang kusadari
dari dirinya adalah bagaimana ia mulai mengonsumsi rokok.
Mungkin generasi di bawah kami tak
menyadarinya, karena mereka tak dapat membandingkan pengalaman hidup yang
relatif lebih lepas dari teknologi dengan pengalaman hidup di bawah percepatan
yang luar biasa. Kami tak mendapat jawaban apapun, sebagaimana perbincangan
kadang tak membutuhkan jawaban, selain hanya kemampuan berbagi. Karena perang
yang terjadi di benak kita semua dan mekanisme pertahanan diri tubuh kita
adalah sesuatu yang nyata, senyata dunia cyber di mana kita semua berada.
Mereka berkehendak menduduki wilayah realita kita sebelum kita bisa memiliki
kemampuan untuk menjadi otonom walau hanya untuk wilayah satu milimeter persegi
saja.
Di akhir perbincangan, arlojiku
menunjukkan pukul empat pagi. Aku bertanya, mengapa ia tampak begitu
antusias—walaupun gelisah—dengan topik tersebut. Ia hanya tersenyum dan
menyibakkan rambutnya yang ia biarkan tumbuh memanjang.
“Saya ingin punya anak, tapi saya
terus terang takut dengan kenyataan soal gimana dunia ini jalan,” ujarnya
seraya mematikan rokoknya di asbak yang ia letakkan di atas meja di sebelahnya.
Mendadak mata sipitnya menatapku tajam, “Jangan coba-coba bilang kalau kamu mau
jadi sukarelawan buat nanam benihnya.”
Kami berdua tertawa. Pada akhirnya
di penghujung sesi perbincangan ini, kami bisa tertawa lagi. Sesi perbincangan
yang mungkin tak akan terjadi lagi setelah akhir minggu ini berakhir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar