Valuta.
Pertukaran.
Di
mana saja. Masyarakat apa saja. Komunitas apa saja. Bahkan di kalangan kelompok
anak-anak muda yang tampaknya ‘serba bebas dan gratis’, bahkan juga di tengah
kelompok gelandangan atau pengamen di lampu merah. Semua memiliki valutanya
sendiri.
Engkau
membayar untuk mendapatkan tempatmu, betul? Begitulah cara sekelompok
manusia bekerja -entah kelompok kecil terdiri dari lima orang ataupun sebuah
kota yang terdiri dari ribuan orang. Mungkin dengan cara membayar pajak, atau
melakukan kerja sosial, atau sekedar berbagi tugas-tugas harian -apapun.
Apapun. Entah itu masyarakat modern, komune anarkis, atau bahkan komune
primitif. Tidak ada hidup yang gratis. Semua memiliki valutanya sendiri.
Di
negeri ini, di bawah sistem seperti ini, kita dipajaki. Untuk berbicara yang
lebih kecil, seperti tingkatan ketetanggaan tradisional misalnya, kita harus
turut bekerja bakti, ikut andil ambil bagian dari pembagian ronda, ikut
menyumbang sekedarnya untuk acara-acara kecil seperti 17 Agustus-an. Sesuai
pengalamanku juga, untuk bentuk sosial yang lebih kecil lagi, yaitu tinggal bersama
di bawah satu atap bersama beberapa orang lain, semua berjalan sama saja: kita
memiliki valuta.
Kita
selalu memiliki valuta. Bentuknya saja yang berbeda-beda. Dalam skala
sebesar dunia dan negara, kita menggunakan bentuk uang. Dalam skala kecil dalam
satu rumah, valutanya adalah kerjasama. Engkau tidak bekerjasama, artinya hanya
tinggal tunggu waktu saja sampai semua orang menjauhimu dan dalam titik
ekstrimnya, memintamu pergi.
Semua
orang. Setiap orang. Memainkan perannya. Ada pertukaran yang selalu
terjadi.
Ide-ide
dunia gratis, sebagaimana yang digembar-gemborkan para anarkis seperti
CrimethInc. sesungguhnya hanyalah sebuah diskursus puitis, bukanlah sesuatu
yang seharusnya ditelan secara harfiah. Persis seperti apa yang terjadi dengan
slogan “Never Work” yang dikumandangkan gerombolan Situationist
International. Guy Debord menerima ‘sumbangan’ tetap dari Asger Jorn, sementara
Michelle Bernstein menjadi pengisi kolom horoskop di sebuah media lokal. Bahkan
John Zerzan menjual darahnya untuk bisa terus menyambung hidup atau membeli
makan. Karl Marx mendapat ‘sumbangan’ tetap dari Engels. Brian Dingleding
menjual CD dan merchandise untuk bisa terus menerima pasokan dana. Untuk
menyiasati semua hal tersebut dan agar dapat menyeimbangkan pemasukan dan
pengeluaran, mereka semua rata-rata tidak menikah dan memiliki anak serta hidup
berpindah-pindah. Seperti Arthur Rimbaud. Seperti Isabelle Eberhardt.
Bahkan
Henry Miller-pun membayar. Ia menulis buku, menerima royalti darinya,
menjual lukisan cat airnya. Kini anak-anak cucunya terus menerima royalti dari
seluruh penjualan buku-bukunya bahkan setelah ia wafat. Bahkan kepala mafia-pun
harus mampu mempertahankan kekuasaannya agar mampu mendapatkan sesuatu atau ia
akan disingkirkan. Artinya, bahkan seorang Don Corleone-pun membayar.
Mereka yang menolak total terlibat dalam pertukaran menggunakan uang, memilih
hidup berjarak, sejauh mungkin, dari peradaban dan masyarakat besar. Seperti
Ted Kaczynski yang memilih hidup seorang diri, berburu kelinci dan membangun
pondok dari kayu di tengah hutan. Ada harga yang ia ambil. Ia bayar.
Beberapa
dari kita bekerja. Beberapa dari kita menjadi ketua geng. Beberapa dari
kita menjual kaos dan rekaman. Beberapa menjual citra kemiskinan atau citra
radikal. Tak ada benar dan tak ada salah dalam soal ini. Kita semua hanya
membayar sesuatu karena tak ada hidup yang gratis. Kita semua menukarkan
sesuatu. Semua memiliki peran dan memainkan perannya. Ketua geng mempertahankan
kekuasaannya dan menerima upeti dari orang-orang yang hidup dalam areanya,
seorang radikal menjual citra kemiskinan dan pemberontakan agar mendapat
pasokan uang yang stabil. Di luar itu semua, selain anak-anak kecil yang
beruntung sehingga bebas dari valuta, tak lebih dari anak-anak manja yang
merengek, menangis dan lebih cocok kembali ke pelukan hangat, gratis, dari
ibunya.
Dunia
ini, bagaimana alam ini berjalan, telah beroperasi jauh lebih lama dariku.
Sejauh yang kuketahui hal ini sudah berjalan sejak awal. Saat Adam dan Hawa
menolak membayar berupa kepatuhan terhadap Tuhan, mereka disingkirkan dari
surga. Semua memiliki valuta. Tak ada yang membicarakan hal ini. Tak ada yang
mengajukan protes selain sekelompok anak-anak manja. Setiap orang mengambil
perannya. Tak ada hidup yang gratis.
Aku
menjual kemampuanku, waktuku, energiku untuk dipertukarkan dengan sejumlah uang
yang cukup besar. Bukan. Bukan karena kini aku mengamini dan membenarkan
kapitalisme. Bukan karena aku terbius oleh kapitalisme -walaupun kuakui ia
memang membius. Bukan. Kapitalisme hingga kini masih menyebalkan sebagaimana
sejak awal kelahirannya. Jadi jelas bukan itu. Ada alasan lain. Pertama,
orangtuaku tidak memberikanku warisan milyaran rupiah yang memungkinkanku untuk
hidup tanpa bekerja. Kedua, karena aku menolak menjual citra radikal atau
penderitaan orang lain pada lembaga donor atau pada anarkis-anarkis di Negara
Dunia Pertama. Ketiga, karena memang hidup di kawasan urban dan memiliki cukup
uang jauh lebih menyenangkan dibandingkan miskin finansial.
Apakah
aku harus merasa bersalah atas peran yang kuambil? Haruskah aku malu atas
status sosialku? Haruskah aku melakukan lelucon yang telah kehilangan
gregetnya, yaitu ‘bunuh diri kelas’? Perlukah aku menjaga citra radikal yang
sempat orang-orang sematkan padaku? Jawabanku hanya satu: aku tidak peduli.
Hidup ini singkat dan pendek. Terlalu pendek untuk kujalani berdasar penyesalan
dan rasa bersalah.
Tak
ada hidup yang gratis. Bahkan revolusipun memiliki valutanya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar