Punya
akun Facebook dan berteman dengan Saut Situmorang itu sebenarnya adalah sial yang patut kalian hindari. Sunguh, ini serius! Sastrawan ini adalah orang
yang berbahaya! Ia kriminal! Tulen dan bukan produk bajakan. Namun, saya agak
girang ketika membaca update status dari akun Facebook milik Saut yang menyebutkan bahwa ia baru saja dilaporkan oleh Fatin Hamama (yang gagal menang kontes menyanyi karena ia mengaku sebagai
sastrawan kepada khalayak luas) ke polisi atas tuduhan pencemaran nama baik. Aksi lapor melaporkan Saut ini (setelah sebelumnya, Iwan Soekri juga telah dilaporkan
dengan tuduhan yang sama) membuktikan tesis perdana saya bahwa ia memang
seorang penjahat.
Namun
penting untuk dipahami bahwa saya bukan pendukung Denny JA. Ini belum resmi
mengingat belum ada transfer uang ke nomor rekening saya dari beliau. Jika
bapak Denny JA yang terhormat sudah melunasi pembayaran, maka akan dengan
berbangga hati saya akan mendeklarasikan diri sebagai pendukung beliau. Ingat,
no money no honey.
Kita
kembali ke topik awal, soal Saut yang seorang penjahat dan mengapa ia benar-benar
layak disebut penjahat sehingga sepantasnya di-polisi-kan. Melalui tulisan singkat ini, saya akan coba beberkan
bukti-buktinya sekaligus sebagai bentuk klarifikasi agar publik tidak menuduh saya melakukan fitnah. Fitnah itu dosa
dan saya tidak ingin berdosa. Apalagi kalau sampai dituduh mencemarkan nama baik dan ikut dilaporkan ke polisi.
Pertama,
Saut adalah seorang yang terlalu gampang bicara blak-blakan. Padahal, di tengah
masyarakat Indonesia yang hipokrit, yang munafik, orang seperti itu jelas
sangat menggangu. Bagaimana tidak? Ketika kita semua acuh tak acuh, eh si Saut
malah tampil ke depan dengan bicara lantang dan tegas. Ia selalu tak pandang
bulu. Selalu saja bicara di depan dan apa adanya. Sementara di sisi lain, masyarakat
kita lebih senang gosip. Lebih senang kusuk-kusuk. Lebih senang ngomong di
belakang. Sikap seperti Saut ini jelas preseden yang buruk. Terutama bagi
generasi muda harapan bangsa. Saut telah menantang tradisi pergosipan dan
fitnah memfitnah yang susah payah dibangun pada zaman Orde Baru. Saut menantang
budaya dan berarti ia subversif.
Dan
seperti pada zaman Orde Baru, orang yang subversif memang layak di-polisi-kan.
Kedua,
Saut itu terlampau kritis. Ini tidak baik. Terlampau kritis adalah sesuatu yang
belum saatnya diterima oleh masyarakat kita yang maunya biasa-biasa saja, yang
standar-standar saja. Masyarakat Indonesia dalam anggapan orientalis adalah
tipikal masyarakat yang tidak ingin merebut kebebasannya. Sebaliknya, lebih
cenderung bersikap menunggu dan siap terima jadi. Lagipula sejarah sudah
mengajarkan kepada kita semua bahwa kekritisan itu berbahaya. Menjadi kritis
berarti menjadi ancaman terhadap status quo yang sudah adem ayem dengan
posisinya. Kritis berarti adalah terus menerus menggugat, terus menerus
berdialektika, terus menerus mempertanyakan segala sesuatu yang sudah terlanjur
dianggap absolut. Bayangkan jika semua orang jadi kritis. Bayangkan jika semua
orang menggugat kemapanan pikir dan sistem yang sudah susah payah dipertahankan
ini. Bahaya bukan?
Jadi
sebelum Saut terlanjur jadi ikon dan diteladani banyak orang, ada baiknya
memang ia dibungkam. Ia memang layak di-polisi-kan.
Ketiga,
penting untuk dipahami bahwa Saut adalah orang yang tak paham tata bahasa.
Kesimpulan ini saya dapat setelah melakukan penelitian yang holistik dan
sistematik terhadap gaya bahasa Saut dengan mengambil sampel status-status Facebook-nya. Hasil riset menunjukkan bahwa sastrawan berambut gimbal ini mempertontonkan
ketidakpahaman dia terhadap ke-esa-an gaya bahasa eufimisme yang adalah
identitas nasional kita sebagai orang Indonesia. Penting bagi saya untuk
mengingatkan kembali kepada semua orang bahwa gaya bahasa eufimisme adalah
warisan nasional yang dipopulerkan oleh Bapak Pembangunan Nasional, Soeharto. Sebagai
orang Indonesia yang sangat menghargai warisan nasional, adalah sangat penting
bagi kita semua untuk terus menjaga gaya bahasa eufimisme sebagai gaya bahasa
harian dari masing-masing kita.
Persoalan
gaya bahasa adalah persoalan identitas. Itu berarti siapapun yang berani
memporak-porandakan gaya bahasa kita, sebenarnya sedang memporak-porandakan nasionalisme kita. Orang seperti itu jelas adalah musuh nasional, antek asing, agen
imperialis sehingga ia sangat layak di-polisi-kan.
Poin
keempat sekaligus poin terakhir dari tulisan ini adalah fakta bahwa Saut tidak
bisa dibeli oleh Denny JA. Fakta mencengangkan yang sepatutnya menjadi kewaspadaan
nasional. Kenyataan bahwa orang sekaliber Denny JA dengan uang berlimpah ternyata tidak sanggup menyuap Saut. Hal ini adalah sebuah peringatan yang mesti disikapi
secara sangat serius. Coba anda bayangkan jika di hari esok makin banyak
generasi muda kita yang tidak bisa disumpal dengan uang. Tidak bisa disogok.
Itu berarti, korupsi sebagai salah satu poin penting kebudayaan nasional kita sedang
berada dalam bahaya. Jika kebudayaan nasional berada dalam bahaya, itu juga
berarti kehidupan berbangsa kita sedang dalam bahaya.
Jadi
pemirsa sekalian, mem-polisi-kan Saut bukanlah sesuatu yang salah. Sebaliknya, Fatin Hamama yang didukung oleh Denny JA telah melakukan tidakan terpuji yang pantas didukung oleh kita semua yang gagal mengoperasikan nalar. Melaporkan Saut ke polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik merupakan sebuah tindakan yang bercirikan heroisme dan nasionalisme.
Jika
diharuskan memilih, saya tentu saja lebih condong untuk mengorbankan seorang
Saut Situmorang ketimbang membahayakan kebudayaan nasional yang sudah susah
payah kita jaga bersama.
Doekoeng Toean Saut!
BalasHapus