* * *
Oh, don’t be so fussy. Your body, after all, what is it? Just a physical covering, that’s all. Worth, chemically, 32 cents --Sidney Buchman
Sewaktu masih kuliah di Indonesia, saya menyaksikan sendiri bagaimana orang-orang Papua mengalami diskriminasi karena bau tubuh yang mereka miliki. Para pemuja parfum tentu saja enggan duduk di samping orang-orang Papua. Mereka yang terobsesi dengan standar kecantikan ala media, tentu tidak ingin membiarkan citra kesempurnaan yang diskriminatif itu runtuh karena berada dekat dengan orang Papua.
Saya justru sebaliknya. Sering menemukan rasa nyaman di tengah bau-bau alami tubuh manusia. Tak peduli siapa dan dari ras apa.
* * *
Novelis dan aktivis pecinta lingkungan Amerika, Peter Mathiessen, yang dulu sempat dibicarakan oleh dosenku di sela-sela kuliahnya, pernah berkata—mengkuotasi perkataan seorang saksi dalam persidangan kontrol-polusi beberapa dekade lalu—bahwa manusia adalah binatang terkotor yang pernah menginjakkan kaki di atas bumi.
Aku tidak tahu pasti apa yang mendasari ucapan seorang saksi tersebut yang terkesan terlalu meng-over generalized.
Aku menyadari sentimen mereka para aktivis-aktivis pecinta lingkungan, terhadap ulah manusia yang kelihatannya hanya bisa mendegradasi dan mengeksploitasi kekayaan bumi sampai ke dalam tahap yang benar-benar memprihatinkan. Tetapi aku pikir, pernyataan ini mempunyai kebenaran yang jauh lebih dekat dan lebih relevan, tanpa tentu saja mengabaikan pentingnya kelestarian lingkungan seperti apa yang mereka para aktivis-aktivis lingkungan perjuangkan. Hanya saja, aku tidak ingin membicarakan masalah itu disini.
Kita sebagai manusia, yang hidup di era modern ini, seringnya hanya bisa menutupi, dan menangkal seberapa kotor dan ketidak higienisan diri kita dengan menggunakan sabun, sikat gigi, deodoran, parfum, dan sebagainya.
Kita menolak untuk menyadari bahwa kita pada dasarnya adalah memang makhluk yang—seperti banyak makhluk-makhluk hidup lainnya—menghasilkan cairan dan kotoran beracun dari dalam tubuh untuk segera dibuang agar tidak menumpuk dan meracuni tubuh kita sendiri. Rasa malu yang kita rasakan ketika kita menyadari bahwa tubuh kita menghasilkan odor tidak sedap itu datang, ketika ide atau etiket bahwa “menghasilkan bau di depan orang banyak itu adalah hal yang memalukan dan tidak seronoh” telah ditanam sejak kita pertama kali hadir dan membaur dalam ruang lingkup kehidupan sosial dalam bermasyarakat. Dampaknya, kita pun juga telah berubah menjadi individu yang terbagi menjadi dua; bahwa kita melihat diri kita sendiri hanya sebatas bagaimana kita melihat diri kita dari kacamata dan pengamatan orang lain, dan kita tidak bisa melihat lebih jauh dari itu.
Dunia kini telah berubah menjadi hanya sekedar apa yang tampak, dan produk-produk yang mengatasnamakan higienitas terus merauk profit menjual imaji.
Dalam budaya-budaya lain di beberapa bagian dunia, seperti suku Ongee di pulau Andaman, kepulauan Laut India, bau badan, alih-alih dijadikan sebagai hal yang sifatnya musti dihilangkan dan di tutup-tutupi, dijadikan sebagai faktor penentu dalam kehidupan sosial.
Bagi suku Ongee, alam semesta dan segala isinya didefinisikan oleh bau. Kalender mereka dibangun atas dasar bau bunga yang mulai mekar pada waktu yang berbeda di setiap tahun. Setiap musim dinamai dengan bau tertentu, dan memiliki ciri khas dan ‘kekuatan aroma’ nya sendiri. Identitas pribadi juga didefinisikan oleh bau.
Untuk menyebut dan memperkenalkan dirinya sendiri, suku Ongee menyentuh ujung hidungnya sendiri, gestur dan sikap yang menunjukkan ‘aku’ dan ‘bau-badanku’. Ketika menyapa seseorang, suku Ongee tidak bertanya ‘Apa kabar?’, tetapi‘Konyuneonorange-tanka?’ yang juga berarti ‘Bagaimana hidungmu?’.
Etiket seperti ini mensyaratkan bahwa jika orang tersebut menjawab dia merasa ‘penuh dengan bau’, ia yang menyapa, sudah sepantasnya menarik nafas dalam-dalam untuk menghapus dan menghilangkan aroma yang berlebih. Jika orang yang disambut merasa sedikit kekurangan energi dan bau, adalah sopan bagi si penyapa untuk memberikan sedikit aroma tubuhnya dengan meniup menghembuskan nafas kearahnya.
Suku Bororo di Brazil, atau Serere Ndut di Senegal pun melakukan hal yang sama. Mereka mengidentifikasi identitas personal melalui bau badan. Tetapi bagi suku Bororo, bau itu dibedakan menjadi dua sumber kekuatan yang berbeda. Kekuatan kehidupan selalu di identikkan dengan bau badan, sedangkan kekuatan jiwa, datangnya dari bau mulut.
Di India, sapaan tradisional yang penuh kasih sayang—yang bisa juga disamakan dengan salam peluk dalam budaya barat—adalah dengan mencium dan mengendus kepala orang yang disapa. Gestur ini dapat diketahui dan di temui di dalam teks kuno budaya India, dengan perkataan yang kurang lebih menyatakan: “I will smell thee on the head, that is the greatest sign of tender love”.
Aku tahu apa yang ada di pikiran kebanyakan orang ketika mengetahui fakta-fakta tersebut. Mereka akan mengira bahwa itu adalah merupakan hal yang menjijikan dan menggelikan. Bagaimana bisa kita manusia yang hidup di era seperti ini, dimana peradaban sudah kian maju, melakukan hal seperti itu? Aku sendiri tidak akan menyangkal bahwa aku pun tidak akan mau bertindak sejauh itu untuk membuktikan poin ku. Tetapi yang bisa dilihat disini adalah, bahwa konsep sebuah bau itu berbeda pengaplikasiannya di dalam setiap kehidupan bermasyarakat di berbagai belahan dunia.
Bagi kita yang hidup di sini, dengan peradaban yang sudah jauh lebih maju, bau mungkin adalah merupakan sesuatu hal yang sifatnya tabu. Atau paling tidak, kita dibuat untuk selalu berpikir seperti itu. Tetapi bagi budaya mereka-mereka yang masih menjunjung tinggi indera penciuman mereka sendiri, bau adalah merupakan hal yang bersifat integral dalam kehidupan keseharian mereka, dan yang dapat menentukan jalannya stabilitas sosial. Dan dengan kata lain, dengannya kita juga bisa mengambil kesimpulan bahwa segala konsepsi yang kita ketahui mengenai bau, itu adalah temuan, sebuah konstruksi sosial.
* * *
Aku memperhatikan lelaki ini di hadapanku. Aroma yang datangnya dari bau badannya itu masih saja tercium di ujung hidungku, yang mungkin kini telah menyelimuti seisi bus. Aku membuka sedikit jendela yang terletak di sebelahku, agar angin terus berputar dan agar aroma itu tidak lalu terus hinggap di depan hidungku. Lelaki itu sepertinya sama sekali tidak menyadari bau yang dihasilkan dari badannya sendiri.
Aku memang mengetahui bahwa kita seringkali tidak menyadari bau badan kita sendiri, karena sensor indera penciuman kita, ketika terus diberikan penciuman yang sama, akan lalu menjadi terbiasa. Maka dari itu, ketidak acuhannya adalah bukan merupakan kesalahannya sepenuhnya.
Tanpa aku menyadari, perhatianku kini justru tertuju kepada ekspresi orang-orang di sekitarnya.
Seorang bapak yang duduk tepat di sebelahnya mulai mengeluarkan gestur tidak nyaman, ia mengesampingkan badannya dan sesekali menutup hidungnya dengan sapu tangan yang ia ambil di saku bajunya. Lalu ada seorang lelaki muda dengan kaos kuning yang duduk di sebelahku, yang kuperkirakan adalah seorang pegawai kantoran yang baru saja pulang dari kerja lemburnya. Ia seringkali berusaha untuk tertidur, menundukkan kepalanya seraya sesekali menyeka hidungnya. Nampaknya bau ini terlalu menyengat bagi indera penciumannya, ia sama sekali tidak bisa tertidur sepanjang perjalanan. Ia acapkali melirik sinis ke arah lelaki itu, yang kini sedang tertidur, dengan tatapan terganggu. Aku bisa memastikan kini bahwa bus ini telah dipenuhi dengan orang-orang yang terganggu dengan keberadaan satu orang saja.
Aku berbohong jika aku mengatakan bahwa aku sama sekali tidak merasa terganggu. Tentu saja aku merasa terganggu.
Tetapi aku sudah terlalu lelah untuk hanya sekedar mengeluh dan menghardik. Mungkin aku akan terdengar seperti seorang fetishist ketika aku mengatakan hal ini, tetapi aku memang merasa justru lama kelamaan, malah menikmatinya. Bau ini jauh lebih manusiawi, lebih definitif, dan deskriptif ketimbang bau-bau parfum dengan tagline yang seringkali mengumbar keunikan identitas, dan yang seringkali dapat kucium di tempat-tempat termewah dimanapun. Aku bisa dengan sekejap merasakan dan membayangkan bagaimana lelaki ini melewati hari-harinya, hanya dengan mencium aroma tubuhnya. Bisa kau bayangkan itu?
Kini aku bisa mengerti mengapa mereka orang-orang dari suku Ongee begitu menjunjung tinggi indera penciuman mereka.
Dunia selalu dipenuhi oleh berbagai macam bau. Keindahannya dapat terpatri ke dalam indera penciuman kita. Bau badan yang dihasilkan oleh manusia adalah merupakan salah satu contoh bentuk pernyataan identitas yang paling faktual.
Kita sudah terlalu banyak dan terlalu sering disuguhi oleh wangi-wangian parfum, sehingga kita melupakan bagaimana seharusnya kita berusaha untuk menerima keberadaan manusia lain dengan mencium aroma tubuh mereka, bukan lalu memberikan kesan ilusif dengan wewangian yang mengarahkan kita semakin jauh dari apa dan siapa sebenarnya diri kita.
Aku tidak mengatakan bahwa kita sebaiknya mengumbar bau badan kita di depan orang banyak, dan melupakan bahwa higienitas adalah hal penting. Higienitas itu tetap adalah merupakan prioritas nomor satu, agar kita terhindar dari berbagai kuman dan penyakit. Yang menurutku musti kita hindari di sini adalah pola dan kebiasaan borjuistik kita dalam menanggapi bebauan-bebauan tersebut yang datangnya dari tubuh kita sendiri, atau tubuh orang lain.
Banyak orang seringkali menjadi prejudis dan kasar terhadap orang-orang yang mempunyai bau badan yang tidak sedap. Tetapi apakah mereka juga menyadari bahwa mereka juga sama baunya dan sama kotornya dengan orang yang terus mereka tuding? Bahwa wangi yang memancar dari tubuh-tubuh mereka pun hanya sebatas citra, pengalih dari apa yang sebenarnya selalu mereka coba untuk tutup-tutupi?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar