Titled : The Act of Killing
Directed by : Joshua Oppenheimer
Produced by : Signe Byrge Sørensen
Music by : Elin Øyen Vister
Cinematography : Carlos Arango de Montis ADFC, Lars Skree
Editing by : Niels Pagh Andersen,
Janus Billeskov Jansen,
Mariko Montpetit,
Charlotte Munch Bengtsen,
Ariadna Fatjó-Vilas Mestre
Distributed by : Cinephil and Drafthouse Films
Release date(s) : 2012
Running time : 159 min. (director's cut)/115 min
Country : Norway, Denmark, and UK
Language : Indonesian
Berbicara mengenai film ini
mungkin agak terlambat, karena mengesampingkan fakta bahwa film ini masih cukup
sulit diperoleh selain melalui jalur-jalur pertemanan tertentu, film ini telah
menjadi buah bibir di mana-mana. Terutama di kalangan aktivis, tentu saja.
Betapa tidak, film ini menggambarkan tentang proses pembunuhan mereka yang
komunis—dan dituduh komunis—di seputaran era pembasmian komunis di Indonesia pertengahan
dekade 60-an, dan disorot dari sudut pandang para penjagalnya. Sontak, mereka
yang selalu sibuk dengan urusan kemanusiaan segera angkat bicara. Tentang
betapa kejamnya hal tersebut, tentang betapa tak manusiawinya para jagal.
Semua resensi film ini juga
demikian. Mereka bersorak saat melihat bahwa pada akhirnya sang jagal sendiri
memertanyakan kembali—walau sepintas—apa yang telah ia lakukan. Resensi-resensi
yang melihat seakan-akan melihat Anwar Congo sebagai monster, sosok makhluk
yang bukan manusia, yang melakukan tindakan-tindakan yang seharusnya tak dilakukan oleh manusia.
Tapi bagiku tidak. Film ini
justru meninggalkan pertanyaan yang selama ini tidak pernah terjawab: apakah memang seperti ini adanya menjadi
manusia?
Memang Anwar Congo melakukan
pembunuhan dengan tangannya sendiri, tetapi untuk bisa membantai sekian banyak
orang di berbagai daerah di Indonesia, tentu ia tidak sendiri. Ada orang-orang
lain yang melakukannya di berbagai tempat. Dan tidak semuanya adalah
orang-orang seperti Anwar Congo, sebagian besar lainnya justru adalah
orang-orang biasa, tidak semuanya preman yang dilepas dan diberi keleluasaan
hukum, banyak di antaranya adalah orang seperti diri kita sendiri. Pedagang
biasa, penggiat kampung, guru mengaji, orang-orang terhormat di komunitasnya,
seorang ayah dengan isteri dan anak.
Invasi ke Timor Leste pada
1975. Memang tidak sebesar jumlah korban yang dibunuh di era pembasmian
komunis, tetapi teknik membunuhnya juga tidak jauh berbeda, tidak kalah kejam.
Apabila Anwar Congo melakukannya dengan seutas kawat yang dililitkan di leher
korban, di Timor Leste pembunuhan dilakukan dengan menyodokkan pipa hingga ke
kerongkongan. Kasus dukun santet di Banyuwangi 1998 dan Pangandaran 1999.
Mereka yang dituduh dukun santet disembelih, lantas dipotong kepalanya.
Kepala-kepala tersebut lantas ditancapkan di ujung bambu dan diarak keliling
kampung. Di Pangandaran, tertuduh disalib dan dibiarkan mati perlahan-lahan
kehabisan darah.
Itu baru di Indonesia saja.
Ada sekian banyak lagi kasus-kasus yang mencari cara bagaimana pembunuhan
menjadi efektif di berbagai belahan bumi ini. Rwanda 1994, Liberia 1989–1996,
Chechnya 1999–2009, Bosnia-Herzegovina 1992–1995, untuk menyebut beberapa.
Pertanyaanku selanjutnya
adalah, apa yang sebenarnya dirasakan saat engkau menyembelih seseorang yang
tak berdaya dengan menggunakan seutas kawat? Mungkin tak ada. Mungkin yang ada malah gairah yang membuncah. Karena kalau
memang perasaan yang ada setelahnya amat buruk, bagaimana mungkin hal-hal
seperti ini terus dan terus terjadi di berbagai belahan muka bumi dalam bentuk
dan kasus serta alasan yang berbeda-beda.
Jangan-jangan Freud benar saat
berkata di satu ketika bahwa, “kita adalah penerus dari silsilah panjang tak
berujung para pembunuh di mana nafsu membunuh mengalir dalam darah mereka, sebagaimana
mungkin juga masih mengalir dalam diri kita juga.”
Karenanya, setelah menonton
film The Act of Killing ini, aku
tidak berpikir bagaimana Anwar Congo kejam dan tak manusiawi, aku hanya
berpikir, bukankah film ini memberikan kita cermin tentang siapa manusia dan
apa hal tergelap yang sebenarnya mampu dilakukan oleh manusia? Karena Anwar
Congo adalah juga manusia, para penjagal itu juga manusia. Seperti kita semua.
Apakah sesungguhnya ada dorongan gelap yang selalu bersembunyi di lubuk hati kita masing-masing, yang menunggu untuk dilepaskan? Apabila benar demikian, pertanyaannya, bisakah kita mengendalikan dorongan yang entah apa tersebut?
Apakah sesungguhnya ada dorongan gelap yang selalu bersembunyi di lubuk hati kita masing-masing, yang menunggu untuk dilepaskan? Apabila benar demikian, pertanyaannya, bisakah kita mengendalikan dorongan yang entah apa tersebut?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar