The commodity can be understood in its undistorted
essence only when it becomes the universal category of society as a whole. Only
in this context does the reification produced by commodity relations assume
decisive importance both for the objective evolution of society and for the
attitudes that people adopt toward it, as it subjugates their consciousness to
the forms in which this reification finds expression. . . . As labor is
increasingly rationalized and mechanized, this subjugation is reinforced by the
fact that people’s activity becomes less and less active and more and more
contemplative.
—Lukács, History and Class Consciousness
“Gue
pengen banget nih beli iPhone 4S. Kayanya gue musti
buru-buru cari kerja deh nih, biar bisa beli.” ujar seorang kawanku beberapa
waktu yang lalu dengan wajah agak muram.
Aku
menanggapinya dengan senyuman. Senyuman yang mungkin memberikan kesan ambigu.
Lengkuk tipis di ujung bibirku yang mulai meringis naik, serta merta
menunjukkan kesinisan yang diam-diam ingin kusampaikan kepadanya. Ingin rasanya
aku menertawainya karena ia dapat dengan mudahnya tergiur untuk bekerja, hanya
untuk membeli barang yang sepele seperti itu. Barang yang sebetulnya tidak
begitu ia perlukan. Untuk apa? Bermain Facebook? Atau Twitter? Untuk apa ia
membeli iPhone jika ia bisa melakukan hal itu semua dengan laptop yang sudah
dimilikinya? Laptop yang aku perikirakan juga harganya cukup mahal. Jika ia
ingin menggunakannya untuk berkomunikasi dengan kerabat atau koleganya, lalu
bukankah itu bisa dilakukan dengan ponsel yang sudah dimilikinya? Atau ini memang
hanya sekedar masalah pencitraan? Lain cerita jika memang ia memutuskan bekerja
untuk tujuan yang berbeda, dan tuntutan yang juga berbeda. Dan jika ia memang membutuhkan iPhone untuk keperluan pribadi yang mendesaknya. Aku tidak akan
mengkritisasi keputusannya, aku justru akan menganjurkannya. Tetapi aku sendiri
sudah mulai bosan dengan perilaku-perilaku impulsif seperti ini. Pola hidup
konsumtif yang terus menerus menggerogoti sebuah generasi, yang naasnya aku
turut hidup di dalamnya.
Di
sisi lain aku juga menyadari, tendensi pola pikir orang-orang kebanyakan di
generasiku. Generasi dimana buaian media massa dan teknologi, telah
meredefinisi dengan gamblang pribadi-pribadi yang paling tidak (seharusnya)
mempunyai nilai otonom, menjadi pribadi-pribadi yang terjebak di dalam
kemajemukan massal. Guy Debord, salah satu pendiri gerakan revolusioner
Perancis Situationist International (SI) di pertengahan tahun 60an silam, telah
memprediksikan gejala-gejala sosial di era kapitalisme maju seperti sekarang.
Era dimana kita, masyarakat yang telah di dominasi oleh kondisi produksi
modern, tidak lagi memikirkan hidup sebagai pengalaman konkret, melainkan hanya
sebagai akumulasi dari pertunjukan besar (spectacle). Hidup
yang awalnya kita alami secara langsung, telah berubah menjadi representasi
belaka.
Di
Singapura, negara kecil yang kemajuan teknologinya jauh melebihi Indonesia,
masyarakat telah bertransformasi menjadi semut-semut raksasa yang sudah tidak
lagi mengindahkan nilai sosial antar manusia. Mereka lebih memilih untuk
menghabiskan waktunya bergelut dengan ponselnya, ketimbang berbincang dengan
manusia lain dan bersosisalisasi, layaknya seorang manusia.
Tidak jarang aku melihat orang-orang lalu lalang dengan ponsel mereka,
dengan earphone menancap dalam ke lubang telinga, tanpa
adanya kepedulian terhadap lingkungan sekitar yang dilaluinya. Bahu yang
bersinggungan hanya dianggap sebagai gangguan transmisi, suara kicauan burung
yang indah di atas rindangnya pohon diabaikan, obrolan lepas ditanggapi dengan
gestur defensif, apa jadinya jika manusia sendiri telah melupakan hal-hal yang
sifatnya primordial seperti ini? Keterasingan sudah menjadi pengalaman hidupku
yang tidak akan pernah bisa ku elakkan selama aku tinggal di Singapura. Kemana
lagi aku harus menoleh dan berbincang, ketika sesamaku justru lebih memilih
untuk bergunjing dan bersosialisasi di situs social networking seperti
Facebook?
* * *
Aku
menyadari bahwa manusia memang selalu ingin hidup dalam kenyamanan. Efisiensi
dalam ketenagakerjaan (kemudahan dalam mendapatkan kerja, dengan upah layak),
dan keamanan yang sudah selayaknya kita dapatkan sebagai anggota masyarakat di
dalam suatu negara, adalah satu dari banyak tuntutan yang kita punya. Tetapi
terkadang, tuntutan dan ‘kemauan’ tersebut juga selalu dilibati oleh sifat
manusia yang tidak akan pernah puas terhadap hal yang telah ia dapatkan. Kita
selalu menginginkan kenyamanan yang lebih, efisiensi ketenagakerjaan yang
lebih, dan keamanan yang lebih. Selalu saja seperti itu.
Kecenderungan
seperti inilah yang terus menjadi pergolakan dalam diri tiap manusia untuk
menghidupi hidupnya. Manusia-manusia primitif dulu misalnya, yang masih hidup di
dalam gua gelap dan pengap, berani memutuskan untuk mendobrak zona ‘keamanan’
mereka sendiri, untuk mengarungi lembah dan gunung, agar mereka bisa membangun
rumah yang layak dan kondusif untuk mereka huni. Dengan segera mereka menemukan
teknik bertanam untuk kehidupan yang lebih layak dan permanen, mesin pun
ditemukan, dan hukum pun ditetapkan. Semua ini dilakukan karena mereka, kita,
manusia, tidak akan pernah puas terhadap apa yang telah kita punya, dan selalu
ingin hal yang lebih dari itu. Dan sekarang, di zaman modern ini, manusia telah
dapat menikmati kenyamanan-kenyamanan dalam berbagai taraf; dari alat-alat
transportasi, sampai komunikasi.
Teknologi memang dianggap sebagai karunia bagi kebanyakan orang karena telah membawa kemajuan dalam masyarakat, memberikan kemudahan kepada kehidupan manusia, dan membuka dimensi baru dalam hidup. Dengan demikian, teknologi sangat diperlukan karena tanpa itu manusia tidak mungkin telah menaklukkan hambatan peradaban. Namun, kisah menarik dari teknologi tidak berhenti di sini. Teknologi tidak hanya dianggap sebagai “karunia”, i.e sebagai hal yang “baik” saja, tetapi juga sekaligus sebagai hal yang merugikan. Teknologi menegasi dirinya sendiri, selain menghasilkan hal-hal yang menguntungkan bagi kemajuan peradaban, teknologi juga turut membawa efek buruk pada manusia dan masyarakat.
Al Lewis Mumford,
pernah mengatakan bahwa technology, as a mode of production, as the
totality of instruments, devices and contrivances – which characterize the
machine age – is thus at the same time a mode of organizing and perpetuating
(or changing) social relationships, a manifestation of prevalent thought and
behavior patterns, an instrument for control and domination.
Oleh
karena itu bisa diartikan, teknologi sebagai moda produksi, telah mengubah
hubungan sosial antara individu. Teknologi—sebagai alat yang
dirancang untuk mengontrol dan menguasai—yang
mempromosikan kekacauan daripada keharmonisan, dan kebingungan
daripada pemahaman.
Kita
sudah tidak bisa lagi menyangkal bahwa teknologi memberikan dampak buruk bagi
keberlangsungan kehidupan manusia. Karena pada kenyataannya, indikasi-indikasi
yang telah kupaparkan tadi juga mulai terlihat jelas, seiring perkembangan
zaman yang semakin modern. Dan yang lebih parahnya lagi, teknologi juga (seperti
yang sudah sering kita lihat dan ketahui) dapat merenggut keunikan tiap
individu dan mendegradasi status manusia menjadi hanya sekedar objek,
mesin yang turut membantu pergerakan roda mesin yang lebih besar.
Herbert
Marcuse, salah satu tokoh pemikir sekolah Frankfurt, menjalankan kritiknya
terhadap teknologi dengan nada yang kurang lebih serupa seperti Lewis Mumford.
Marcuse adalah filsuf dan kritikus politik yang secara garis besar mendalami
teori kritis soal pembebasan manusia dari segala bentuk kontrol sosial dan
dominasi. Dimulai dari eksaminasi dan pengkajian ulang teori dialektika Hegel,
berlanjut ke investigasi kritikal terhadap teori-teori Karl Marx soal buruh dan
tenaga kerja, dan yang berujung ke psikoanalisa Freud.
Dalam
bukunya (er, that would be misleading, I read it on a pdf, actually) “One-Dimensional
Man” Marcuse mengajarkan bahwa teknologi, sebagai bentuk
kontrol sosial baru, dapat men-dehumanisasi peran manusia sebagai manusia.
Namun meskipun begitu, ia tidak hanya membayangkan teknologi
sebagai bentuk dominasi tetapi juga sebagai bentuk mekanisme yang
sangat menentukan, yang timbulnya dari aktualisasi diri. Oleh karena
itu, menurut fungsinya, teknologi terbagi menjadi dua macam, yaitu:
sebagai alat untuk dominasi, atau sebagai alat emansipasi.
Jika
dilihat dalam filsafat Marcuse, teknologi bisa dipahami juga
sebagai penemuan, yaitu, sebuah alat atau perangkat yang
memfasilitasi kontrol sosial dan dominasi. Teknologi yang juga
berarti dua komponen alat yang bisa digunakan dalam produksi barang,
dan juga proses sosial yang dapat memfasilitasi kontrol dan
dominasi. Sebagai penemuan, fungsi utama teknologi tentu saja
sebagai alat produksi barang untuk melayani kemanusiaan dalam
pengadaan kebutuhan dasar untuk bertahan hidup sehari-hari dan
untuk terus mempromosikan kehidupan yang nyaman dan memuaskan.
Dalam
industri penggilingan padi, misalnya, penerapan alat teknologi
seperti mesin penggilingan dan pengetahuan praktis
dan keterampilan dalam operasinya meningkatkan tingkat produksi
dengan jumlah energi yang dikeluarkan relatif sedikit, sehingga dapat
membebaskan pekerja dari pekerjaan yang membuang-buang waktu dan
melelahkan. Di sisi lain, teknologi sebagai proses sosial mengacu pada organisasi
teknik (seperti aparat teknis industri), pengetahuan, keterampilan dan
prosedur yang bertujuan untuk mengumpulkan kapital. Menurut Marcuse,
kombinasi teknologi yang efektif dengan modal (kapital)
menyebabkan kelebihan produksi yang berujung kepada pengurangan
(secara paksa) terhadap permintaan atas kebutuhan.
Dengan
kata lain, kapitalisme menciptakan kebutuhan artifisial untuk
membenarkan tindakan kaum kapitalis untuk membuang barang surplus.
Jika dijelaskan secara sederhana, tanpa terlalu ‘menyederhanakan’,
teknologi kini menjadi ‘tujuan akhir’ itu sendiri, dan hidup kini
semata-mata hanya menjadi sarana menuju ‘tujuan akhir’ ini. Dengan
demikian teknologi di bawah kapitalisme
menjadi jenis kontrol sosial yang mengarah
pada kehancurannya sendiri.
* * *
Dalam
film legendarisnya, “Metropolis”, Fritz Lang menggambarkan dengan jelas mimpi
terburuk dari peradaban manusia yang berakhir dengan pergulatan antar kelas
yang diprakarsai oleh rasa keterasingan seorang individu kelas atas terhadap
kemajemukan hidupnya, yang membawanya kedalam hiruk pikuk dunia pekerja kelas
bawah yang belum pernah ia lihat sebelumnya, sehingga ia menggambarkan,
membayangkan mesin-mesin industri di tempat dimana orang-orang bekerja, sebagai
raksasa megah, yang terus menelan kehidupan, nyawa-nyawa manusia yang turut
menjadi motor pergerakan mesin besar tersebut. Matanya terbuka, dan ia
bersikeras untuk mengubahnya. Menjadi katalis atas pergejolakan antar kelas
yang sudah tidak bisa lagi di hindari.
Aku
akui bahwa teknologi kini mungkin kelihatannya tidak seseram mesin-mesin
pemakan nyawa manusia seperti yang digambarkan Fritz Lang di dalam filmnya,
dengan bongkahan besi-besi yang berputar kencang, uap-uap yang menghembus
kencang dari kisi-kisi mesin, dan semburan minyak-minyak pelumas. Kini
teknologi telah mengalami kemajuan yang begitu drastis, sehingga kemajuan
teknologi tidak lagi hanya bisa dirasakan oleh mereka para buruh-buruh keras,
tetapi juga untuk mereka, untuk kita, para masyarakat kelas menengah atas,
dengan teknologi canggih, dengan desain yang dibuat sedemikian rupa, untuk terus
menarik perhatian pasar, dengan memberikan kenyamanan semu.
Sebagai
alat untuk dominasi, teknologi mengontrol, memanipulasi dan
mengarahkan manusia dengan membuat diri mereka tunduk
kepada tatanan sosial yang berlaku represif. Ini
menjadi alat untuk dominasi ketika diatur atau
dimanipulasi oleh kelas penguasa kapitalis untuk merauk
keuntungan melalui eksploitasi manusia dan alam. Bukankah ini
merupakan tanda bahaya bagi kita manusia? Jika teknologi mendominasi, maka kita
tidak lebih dari hanya mesin biologis yang merespon kepada proses-proses
teknis, seperti mesin. Kita tereduksi.
Temanku
itu kembali menghubungiku beberapa waktu yang lalu lewat telepon,
“Coy,
temen lo ada yang jual Macbook Pro nggak? Gue lagi nyari nih.” dengan nada yang
sama persis seperti hari-hari sebelumnya.
“Lah,
lo bukannya udah punya laptop?”
“Iya
emang, gue mau ganti aja, yang ini mau gue jual.”
Aku
terdiam sejenak berpikir untuk segera melabraknya, karena aku sudah benar-benar
muak dengan perilakunya yang seperti ini, dan ini bukanlah yang pertama kali.
Aku sebenarnya tidak ada masalah dengan barang-barang teknologi tersebut,
memang sudah begitu adanya, konsekuensi dari kemajuan peradaban, dan itu sudah
tidak bisa terelakkan. Tidak sekonyong-konyongnya lalu aku menolak segala
bentuk kemajuan teknologi untuk berpartisipasi dalam hidupku, tentu aku
bersikap realistis. Yang menjadi perhatianku dan yang kerap menggangguku disini
justru lebih kepada model-model individu yang dihasilkannya. Bukan keberadaan
‘benda’ itu sendiri.
“Oh,
ya udah, entar gue tanyain kalau ada ya.” jawabku singkat.
“Ok.”
Ia
menutup telepon, dan aku hanya tersenyum dan menggelengkan kepala. Biarlah, aku
sudah tidak peduli lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar